Harapan Kosong itu lebih menyakitkan daripada kenyataan yang pahit sekalipun. . .

Minggu, 24 Februari 2013

Bedug Terbesar Didunia, Hanya Ada Dikota Purworejo



Bedug merupakan sebuah alat yang biasanya digunakan di masjid-masjid atau musholla (kebanyakan di daerah Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur) untuk memberitahukan telah masuk waktu sholat bagi orang Islam, paling sering ditabuh pada hari Jumat, sebelum sholat Jumat. Salah satu bedug terbesar, konon terbesar di dunia seperti yang tertulis di data-data tentang bedug tersebut adalah Bedug Masjid Jami’ Purworejo, Jawa Tengah. Bedug tersebut terbuat dari kayu jati, sering disebut kayu jati Pendowo.

Bedug itulah yang selama ini disebutkan sebagai kelebihan Purworejo, dalam hal peninggalan budaya masa lalu. Selanjutnya diarahkan menjadi daya tarik wisata Purworejo. Apakah bedug tersebut benar-benar menajdi daya tarik Purworejo? Secara pasti saya kurang tahu, tetapi dari beberapa kali saya ke Purworejo kalau sedang pulang kampung, dan sempat ke Masjid Jami’ Purworejo, meskipun hari libur panjang, tetapi pengunjung atau orang yang sholat di masjid itu dan memperhatikan bedug yang terletak di sebelah depan-kiri itu, ternyata tidak begitu banyak.

Setelah disebut atau diklaim sebagai bedug terbesar, lalu apa yang mesti dilakukan? Apakah hanya berhenti seperti itu? Sebenarnya kalau kita (terutama warga Purworejo, di daerah asal maupun di perantauan) mau lebih dalam memaknai, maka seharusnya ada upaya-upaya untuk mengambil sikap, menjadi lebih arif, lebih bersemangat dalam belajar dan bekerja/berkarya, dan sebagainya. Sangat sering simbol yang pada penciptaanya dimaksudkan agar dipelajari dan dikupas maknanya secara lebih dalam, tetapi hanya berhenti hanya sebagai simbol yang diam, bisu dan tak berarti. Masyarakat Indonesia, terutama Jawa yang akrab dengan simbolisme, dalam beberapa tahun ini menjadi kian pragmatis. Tidak mau dengan pemikiran yang dianggap kuno dan memakan banyak waktu, tetapi lebih suka yang praktis dan banal, lebih sering menukai hal-hal yang sedang dan mudah jadi trend atau mainstream.
Kian banyak masjid atau musholla yang bangunan fisiknya megah, tetapi apakah sehabis maghrib masih seramai dulu? Dulu waktu musholla atau kadang disebut langgar masih berdinding anyaman bambu, berlantai kayu karena bangunan rumah panggung, berlampu minyak tanah; sebelum ada listrik masuk desa, sebelum banyak televisi di rumah-rumah, sehabis maghrib banyak orang mengaji di musholla dan di rumah.
Sekarang, ada berapa rumah di desa-desa, kampung-kampung yang sehabis maghrib tidak menyalakan televisi? sangat bisa dihitung dengan jari!
Apa artinya?
Mari kita bangun di sepertiga malam menjelang pagi, merenung, masuk ke dalam diri, nikmati percakapan sepi, dan temukan jawabnya dalam jiwa sunyi!

Wisata Goa Seplawan, Purworejo


Goa Seplawan terletak di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing dengan jarak tempuh + 20 km ke arah Timur dari pusat kota Purworejo dengan ketinggian 700 m dpl sehingga udaranya sangat sejuk. Goa ini memiliki ciri khusus berupa ornamen yang terdapat di dalam goa, antara lain staklatit, staklamit, flowstone, helekit, soda straw, gower dam dan dinding-dindingnya berornamen seperti kerangka ikan. Panjang Goa Seplawan + 700 m dengan cabang-cabang goa sekitar 150-300 m dan berdiameter 15 m. Goa alam yang sangat menakjubkan ini menjadi semakin terkenal dengan diketemukannya arca emas Dewa Syiwa dan Dewi seberat 1,5 kg pada tanggal 28 Agustus 1979 yang sekarang arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Tempat lain yang juga terkait dengan sejarah Kabupaten Purworejo adalah Goa Seplawan, yang berada di wilayah Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing. Goa ini menjadi istimewa karena disebut-sebut dalam Prasasti Kayu Arahiwang. Dalam prasasti itu dengan jelas disebutkan bahwa salah satu tempat yang harus dijaga karena kesuciannya adalah Goa Seplawan.

Dan agaknya hal itu memang benar. Karena saat pertama kali ditemukan pada tanggal 28 Agustus 1979, di dalam salah satu lorong goa ditemukan sebuah arca sepasang dewa dewi yang terbuat dari emas murni. Keberadaan patung sepasang dewa dewi yang tak lain adalah Dewa Syiwa dan Dewi Parwati ( seberat 1,5 kg ) tersebut, menunjukkan kalau Goa Seplawan sebelumnya dijadikan sebagai tempat pemujaan.

Patung itu kemudian dibawa ke Jakarta dan disimpan di Musium Nasional Jakarta. Sebagai gantinya pemerintah membuatkan replika patung itu tepat di depan mulut goa. Tujuannya adalah untuk mengingatkan kepada para pengunjung bahwa goa ini pada dasarnya adalah tempat suci yang disakralkan oleh masyarakat pada zaman dulu. Selain sakral, goa ini juga memiliki keindahan yang sangat luar biasa. Hamparan stalaktit dan stalagnit di setiap lorong goa, menciptakan kesan tersendiri bagi para pengunjung goa. Tak hanya itu gemericik air yang menetes dari bebatuan penyusun goa mampu menenangkan hati siapapun yang masuk ke dalamnya.

Goa ini memiliki panjang + 700 meter dengan cabang-cabang goa sekitar 150 – 300 meter dan berdiameter 15 meter. Sehingga untuk masuk ke dalam goa, pengunjung harus menyusuri anak tangga menurun yang cukup melalahkan. Yang mana rasa lelah itu akan segera hilang begitu mulai memasuki mulut goa. Sebab dari mulut goa itu saja keindahan ukiran batu di dalam goa sudah terlihat jelas.

Makanya tak heran kalau pengunjung betah berlama-lama tinggal di dalam goa tersebut. Bahkan terkadang ada orang yang sengaja masuk dan tinggal selama beberapa hari di dalam goa untuk melakukan ritual. Dan hal ini bisa diketahui dari aroma hioswa dan minyak wangi yang menyeruak dari salah satu ruangan di dalam gua tersebut. Karena agaknya ruangan tersebut memang kerap dipakai untuk menggelar ritual.

Ritual di dalam goa itu sebenarnya adalah rangkaian dari ritual yang biasa dilakukan di Candi Gondoarum yang berada tidak jauh dari Goa Seplawan. Candi Gondoarum sendiri saat ini nyaris tak berbentuk lagi. Yang tersisa hanyalah bekas-bekas pondasi dasar candi, yang sepintas terlihat mirip batu biasa yang berserakan. Hanya saja yang membedakan adalah, adanya beberapa guratan ukiran pada beberapa sisi batu yang bila dirangkai bisa saling berhubungan.

“ Candi ini diduga lebih tua dari pada Candi Borobudur. Dan disebut Gondoarum karena waktu lingga yoninya diangkat, keluar semerbak bau harum. Sehingga sampai sekarang tidak ada orang yang berani berbuat jelek di tempat ini. “

Letak lingga yoni itu sendiri tepat di samping candi, dan sekarang telah dibuatkan satu cungkup sederhana untuk melindunginya. Sebenarnya pihak museum berniat mengamankan benda itu. Namun sepertinya “ penunggu “nya tidak mengijinkan. Sehingga sampai sekarang batu yang merupakan simbol penyatuan kehidupan tersebut tetap dibiarkan di tempat semula.

sumber : www.purworejokab.go.id

Goa Seplawan terletak di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing dengan jarak tempuh + 20 km ke arah Timur dari pusat kota Purworejo dengan ketinggian 700 m dpl sehingga udaranya sangat sejuk. Goa ini memiliki ciri khusus berupa ornamen yang terdapat di dalam goa, antara lain staklatit, staklamit, flowstone, helekit, soda straw, gower dam dan dinding-dindingnya berornamen seperti kerangka ikan. Panjang Goa Seplawan + 700 m dengan cabang-cabang goa sekitar 150-300 m dan berdiameter 15 m. Goa alam yang sangat menakjubkan ini menjadi semakin terkenal dengan diketemukannya arca emas Dewa Syiwa dan Dewi seberat 1,5 kg pada tanggal 28 Agustus 1979 yang sekarang arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Tempat lain yang juga terkait dengan sejarah Kabupaten Purworejo adalah Goa Seplawan, yang berada di wilayah Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing. Goa ini menjadi istimewa karena disebut-sebut dalam Prasasti Kayu Arahiwang. Dalam prasasti itu dengan jelas disebutkan bahwa salah satu tempat yang harus dijaga karena kesuciannya adalah Goa Seplawan.

Dan agaknya hal itu memang benar. Karena saat pertama kali ditemukan pada tanggal 28 Agustus 1979, di dalam salah satu lorong goa ditemukan sebuah arca sepasang dewa dewi yang terbuat dari emas murni. Keberadaan patung sepasang dewa dewi yang tak lain adalah Dewa Syiwa dan Dewi Parwati ( seberat 1,5 kg ) tersebut, menunjukkan kalau Goa Seplawan sebelumnya dijadikan sebagai tempat pemujaan.

Patung itu kemudian dibawa ke Jakarta dan disimpan di Musium Nasional Jakarta. Sebagai gantinya pemerintah membuatkan replika patung itu tepat di depan mulut goa. Tujuannya adalah untuk mengingatkan kepada para pengunjung bahwa goa ini pada dasarnya adalah tempat suci yang disakralkan oleh masyarakat pada zaman dulu. Selain sakral, goa ini juga memiliki keindahan yang sangat luar biasa. Hamparan stalaktit dan stalagnit di setiap lorong goa, menciptakan kesan tersendiri bagi para pengunjung goa. Tak hanya itu gemericik air yang menetes dari bebatuan penyusun goa mampu menenangkan hati siapapun yang masuk ke dalamnya.

Goa ini memiliki panjang + 700 meter dengan cabang-cabang goa sekitar 150 – 300 meter dan berdiameter 15 meter. Sehingga untuk masuk ke dalam goa, pengunjung harus menyusuri anak tangga menurun yang cukup melalahkan. Yang mana rasa lelah itu akan segera hilang begitu mulai memasuki mulut goa. Sebab dari mulut goa itu saja keindahan ukiran batu di dalam goa sudah terlihat jelas.

Makanya tak heran kalau pengunjung betah berlama-lama tinggal di dalam goa tersebut. Bahkan terkadang ada orang yang sengaja masuk dan tinggal selama beberapa hari di dalam goa untuk melakukan ritual. Dan hal ini bisa diketahui dari aroma hioswa dan minyak wangi yang menyeruak dari salah satu ruangan di dalam gua tersebut. Karena agaknya ruangan tersebut memang kerap dipakai untuk menggelar ritual.

Ritual di dalam goa itu sebenarnya adalah rangkaian dari ritual yang biasa dilakukan di Candi Gondoarum yang berada tidak jauh dari Goa Seplawan. Candi Gondoarum sendiri saat ini nyaris tak berbentuk lagi. Yang tersisa hanyalah bekas-bekas pondasi dasar candi, yang sepintas terlihat mirip batu biasa yang berserakan. Hanya saja yang membedakan adalah, adanya beberapa guratan ukiran pada beberapa sisi batu yang bila dirangkai bisa saling berhubungan.

“ Candi ini diduga lebih tua dari pada Candi Borobudur. Dan disebut Gondoarum karena waktu lingga yoninya diangkat, keluar semerbak bau harum. Sehingga sampai sekarang tidak ada orang yang berani berbuat jelek di tempat ini. “

Letak lingga yoni itu sendiri tepat di samping candi, dan sekarang telah dibuatkan satu cungkup sederhana untuk melindunginya. Sebenarnya pihak museum berniat mengamankan benda itu. Namun sepertinya “ penunggu “nya tidak mengijinkan. Sehingga sampai sekarang batu yang merupakan simbol penyatuan kehidupan tersebut tetap dibiarkan di tempat semula.

sumber : www.purworejokab.go.id

BANDUNG, PARIJS VAN JAVA


Braga_1968

Bandung yang kini telah berusia 200 tahun memang selalu menarik untuk dikunjungi. Lihat saja setiap akhir pekan mobil-mobil bernomor Jakarta dan kota-kota lain memenuhi jalan-jalan utama di kota Bandung. Apa yang sebenarnya menjadi daya tarik Bandung? Pastinya bagi masyarakat umum Bandung dikenal sebagai surga wisata belanja karena terdapat ratusan gerai factory outlet yang dapat memuaskan keinginan pengunjungnya untuk membeli baju-baju yang sesuai dengan trend mode masa kini. selain itu aneka makanan jajanannya yang khas dan lezat juga siap memanjakan perut para wisatawan yang keroncongan setelah seharian berbelanja baju.
Namun sebenarnya Bandung tak hanya menyajikan wisata mode dan makanan saja, kota yang pernah dijuluki Parijs van Java ini ternyata masih menyimpan banyak kekayaan wisata lain yang tak kalah memesona. Rasanya terlalu sayang jika mengunjungi Bandung hanya untuk membeli baju lalu berwisata kuliner saja. Lalu apa saja tempat-tempat lain yang layak dikunjungi? Buku “Wisata Parijs Van Java” karya wartawan senior Kompas Her Suganda ini mencoba menyuguhkan berbagai obyek dan tempat di Bandung dan sekitarnya yang ternyata menarik untuk dikunjungi para wisatawan dalam dan luar kota.
Di buku setebal 331 halaman ini penulis berusaha memenuhi rasa ingin tahu pembaca yang ingin berkunjung ke Bandung. Dan ternyata obyek-obyek wisata yang pantas dikunjungi di Bandung tidaklah sedikit, setidaknya buku ini memuat lebih dari tiga puluh tempat yang layak dikunjungi.
Buku ini membagi tujuan wisata Bandung ke dalam 6 bagian yang dimulai dari wisata sejarah menyusuri gedung-gedung bersejarah di kota Bandung, tempat-tempat ilmu pengetahuan dan seni, wisata kota, wisata alam dan argo, wisata kuliner, wisata belanja, plus bab tersendiri mengenai transportasi dan akomodasi di kota Bandung. Dan sebagai pelengkap, buku ini juga menyajikan daftar alamat dan nomor-nomor telepon penting dari berbagai lokasi wisata, hotel, travel, toko oleh-oleh, souvenir, rumah sakit, dan sebagainya.
Bagi yang menyukai wisata sejarah dan ingin menyelusuri bangunan-bangunan bersejarah (Gedung Sate,


Gedung Merdeka, Museum Pos, dsb) yang banyak terdapat di kota Bandung buku ini bisa dijadikan panduan yang sangat baik. Selain menyimpan banyak bangunan bersejarah dari masa kolonial Belanda, beberapa bagunan di kota Bandung juga bisa menjadi saksi perjalanan hidup Bung Karno. Untuk itu buku ini menyajikan bagian khusus bagi pembacanya untuk berwisata sejarah sambil menapak Jejak Langkah Bung Karno di Bandung mulai dari sel no. 5 Penjara Banceuy yang kini berada di tengah-tengah area pertokoan, gedung Landraad ( gd. Indonesia Menggugat), penjara Sukamiskin, Institut Teknologi Bandung tempat Bung Karno meraih gelar Insinyurnya, rumah bersejarah Inggit Ganarsih, dan beberapa bangunan di Bandung yang merupakan rancangan Ir. Sukarno.
Khusus mengenai rumah-rumah rancangan Bung Karno, buku ini mencatat ada 11 rumah yang hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Salah satu ciri khas hasil rancangan Bung Karno ada pada bagian atas bangunan-bangunan tersebut yaitu terdapat hiasan berupa gada. Ada yang berpendapat bahwa hiasan tersebut merupakan bagian dari pengaruh dunia pewayangan yang banyak mempengaruhi pikiran Bung Karno. Gada sendiri merupakan senjata yang biasa digunakan oleh tokoh wayang Bima.
Di bagian ilmu pengetahuan dan seni, buku ini menyajikan tempat-tempat di Bandung yang hingga kini menjadi pusat penelitian iptek dan perkembangan seni seperti Museum Geologi yang menyimpan fosil gajah purba dan 13 meteorit yang pernah jatuh di Pulau Jawa antara lain Meteorit Prambanan yang jatuh ke bumi pada tahun 1865. Di museum ini tercatat bahwa ketika sampai di bumi bobot meteorit tersebut mencapai 10 ton!.
Lalu ada pula Observatorium Boscha yang dibangun pada tahun 1912. Bangunan utamanya unik karena berbentuk kubah putih yang atapnya bisa dibuka dan ditutup untuk mengamati benda-benda angkasa. Di Observatorium Boscha ini terdapat teleskop Zeiss yang memiliki panjang tabung sekitar 11 meter dan diameter 150 cm. Saking besarnya teleskop ini sering dijuluki “Mata Raksaksa”.
Di bagian seni, terdapat tempat wisata-wisata seni yang layak dikujungi, antara lain Museum Barli yang juga menyediakan tempat untuk belajar melukis dan Saung Angklung Udjo yang jadi tujuan wajib para wisatawan mancanegara. Walau tidak setenar batik Yogya dan Solo ternyata Bandung juga memiliki tempat kegiatan membatik yang terletak di Jl Cigadung Timur dan Jalan Pesantren (Cimahi) dimana kedua tempat ini membuka diri untuk para pengunjungnya sehingga pengunjung bisa mengenal dan belajar membatik sendiri.
Untuk wisata belanja dan kuliner, selain tentang FO yang telah menjadi salah satu icon Bandung, buku ini juga mengulas tentang dua lokasi yang sedari masa lampau telah menjadi pusat fashion yaitu Pasar Baru dan jalan Tamin hingga sentra baju bekas Cimol (Cibadak Mall). Sedangkan untuk urusan perut selain menyajikan jajanan khas Bandung terungkap pula tempat yang direkomendasikan bagi para vegetarian. Tak ketinggalan pula tempat berjualan makanan ekstrim seperti sate kuda dan sate biawak.


Yang membuat buku ini menarik adalah bagaimana penulisnya menuturkan tempat-tempat tujuan wisata itu dengan detail dalam kemasan jurnalistik yang enak dibaca dan perlu. Jadi buku ini tak hanya menyajikan nama dan tempat wisata saja melainkan memberikan gambaran lengkap dan rinci mengenai sejarah, latar belakang, suasana, dan hal-hal menarik yang jarang terungkap dalam buku-buku panduan wisata lain. Selain itu ratusan foto-foto yang dicetak secara tajam dan tata letaknya yang dinamis juga membuat buku ini menjadi lebih informatif.
Jadi jika kita sering bertandang ke Bandung, buku ini bisa menjadi buku panduan untuk menyusuri kota Bandung dan sekitarnya yang mungkin belum kita ketahui selama ini. Tidak hanya bagi mereka yang sering berwisata ke kota Bandung buku ini juga layak dimiliki oleh warga Bandung sendiri yang ingin mengenal kotanya lebih dalam lagi. Bukan tak mungkin banyak orang Bandung sendiri yang mungkin tidak mengetahui tempat-tempat wisata beserta sisi-sisi menariknya yang terdapat dalam buku ini.
Selain itu buku ini juga tentunya dapat membangun kesadaran masyarakat luas bahwa sebetulnya Bandung bukan hanya surga belanja dan kuliner seperti yang telah dikenal selama ini. Di buku ini akan terungkap bahwa ada banyak tujuan wisata lain yang dapat memperluas pemahaman kita akan ilmu pengetahuan, sejarah, kesenian, dan peradaban dari sebuah kota yang dulu pernah dipersiapkan menjadi ibu kota pemerintahan Hindia Belanda dan sempat dijuluki sebagai Parijs van Java.

INDAH NAN ANGGUN PANTAI PELABUHAN RATU


Pantai Palabuhanratu, atau lebih populer sebagai Pantai Pelabuhan Ratu, adalah sebuah tempat wisata di pesisir samudera hindia di selatan Jawa Barat. Lokasinya terletak sekitar 60 km ke arah selatan dari Kota Sukabumi.
Pantai ini dikenal memiliki ombak yang sangat kuat dan karena itu berbahaya bagi perenang pantai. Topografinya berupa perpaduan antara pantai yang curam dan landai, tebing karang terjal, hempasan ombak, dan hutan cagar alam.
Karena tempat ini mempunyai daya tarik sendiri, Presiden Soekarno mendirikan tempat peristirahatannya pada tahun 1960 di Tenjo Resmi. Selain itu, atas inisiatif Soekarno pula didirikanlah Samudera Indonesia Beach Hotel, salah satu hotel mewah pertama yang dibangun di Indonesia pada kurun waktu yang sama dengan beberapa hotel-hotel besar di Indonesia lainnya, dan Toko Serba Ada "sarinah", yang kesemuanya menggunakan dana pampasan perang dari Jepang.

FASILITAS REKREASI
Selain hotel besar dan mewah Samudera Beach Hotel, di daerah ini terdapat pula sejumlah hotel dan losmen kecil, Pondok Dewata resor adalah salah satu villa mewah yang cukup laris dikunjungi wisatawan. Tidak berapa jauh dari Pantai Palabuhanratu terdapat beberapa lokasi wisata lainnya. Pantai Karang Hawu, yang letaknya sekitar 20 km dari pusat kota Palabuhanratu, merupakan pantai karang yang menjorok ke laut dan berlubang di beberapa bagian itu. Bentuk karangnya lebih mirip tungku, dalam bahasa sunda disebut "Hawu". Pantai-pantai lain yang terletak di daerah ini antara lain adalah Pantai Cibareno, Cimaja, Cibangban, Break Water, Citepus, Kebon Kelapa, dan Tenjo Resmi.
Sekitar 17 km dari Pantai Palabuhanratu terdapat sumber air panas di Cisolok, yang airnya mengandung belerang yang tinggi dan berguna bagi kesehatan.
Di seputar Palabuhanratu, paling tidak ada sembilan titik lokasi untuk berselancar, yaitu di Batu Guram, Karang Sari, Samudra Beach, Cimaja, Karang Haji, Indicator, Sunset Beach, Ombak Tujuh sampai Ujung Genteng. Masing-masing pantai mempunyai ombak dengan karakteristiknya sendiri.

MITOS
Masyarakat pantai selatan khususnya Pelabuhanratu percaya adanya penguasa laut selatan yaitu Ratu Kidul. Konon, ia adalah seorang ratu yang cantik bagai bidadari. Di Laut Selatan - nama lain dari Samudera Hindia - sebelah selatan Pulau Jawa, ia bertahta pada sebuah kerajaan makhluk halus yang besar dan indah.
Pada bulan April biasanya masyarakat sekitar Palabuhanratu mengadakan ritual upacara adat Hari Nelayan. Hari Nelayan dimaksudkan sebagai syukuran atas rezeki yang telah mereka dapatkan dari hasil laut dan agar dijauhkan dari bencana. Biasanya dalam upacara ini disediakan sesaji berupa kepala karbau yang nantinya akan dilarung ke tengah laut.

PELESTARIAN FAUNA
Pantai Palabuhanratu juga dikenal sebagai tempat bertelur dan berbiaknya penyu yang terancam punah, dan karenanya termasuk salah satu binatang yang dilindungi di dunia. Namun demikian penyu-penyu di Pantai Palabuhanratu masih sering ditangkapi untuk dimakan dagingnya sementara badannya dan kulitnya dijadikan cendera mata dan telurnya diambil untuk dikonsumsi masyarakat.

SEJARAH TARIAN DOLALAK, KESENIAN KHAS PURWOREJO


Foto by:arief design

Dolalak adalah kesenian khas dari Kabupaten Purworejo. Tarian ini merupakan peninggalan
pada zaman penjajahan Belanda. Asal kata Dolalak adalah dari not Do dan La karena tarian
ini diiringi hanya dengan alat musik dua nada, tentunya pada zaman dulu awal mula Dolalak.

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, tarian Dolalak sekarang sudah diringi dengan
musik modern, yaitu keyboard. Lagu-lagu yang dimainkan pun bervariasi dan beragam.
Penari Dolalak hanya dilakukan oleh para wanita, berseragam hitam dengan aksesoris yang
gemerlapan juga ada aksesoris yang khas yaitu kacamata hitam. Penari-penari Dolalak bisa
mengalami trance, yaitu suatu kondisi mereka tidak sadar karena sudah begitu larut dalam
tarian dan musik.
Tingkah mereka bisa aneh-aneh dan lucu. Tarian Dolalak saat ini sudah berkembang pesat
bahkan sudah menjadi brand image Kabupaten Purworejo.
Dolalak semakin populer di kalangan generasi muda. Hal ini tidak luput dari peran
Pemerintah Daerah Purworejo yang terus mengembangkan dan melestarikan kesenian asli
daerah Purworejo ini. Bahkan di setiap event-event tingkat nasional kesenian Dolalak
selalu tampil sebagai suatu kesenian yang unik. Di setiap lomba-lomba kesenian tingkat
nasional kesenian Dolalak selalu menjuarai.

Foto by: arief design

Hal inilah yang selalu mendorong  Kesenian Dolalak selalu ditampilkan
dalam Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia, Jambore Pramuka dari tingkat daerah
sampai Nasional, pertunjukkan budaya antar daerah, bahkan sudah melanglang ke beberapa
negara di Asia dan Eropa. Oleh karena itu Dolalak perlu dipatenkan sebagai kesenian asli
Indonesia pada umumnya dan menjadi kesenian asli daerah Kabupaten Purworejo pada khususnya.
Hal ini bertujuan agar Dolalak tidak diklaim sebagai milik perseorangan, daerah, atau
bahkan bangsa lain.
Setahu saya awal mula kesenian dolalak dari desa Mlaran kec Gebang dan dirintis oleh
bpk Karyadi yang tidak lain adalah mbah saya sendiri, dulu waktu masih jaya bpk Karyadi
selalu memenangkan festival yang yang diadakan di purworejo menjadi no satu group dolalak
Sri Dadi dari Mlaran dan mendapatkan sponsor rokok Djarum 76 sampai pentas ke Ancol dlll
dan sekarang sudah terpecah belah menjadi beberapa group jadi dalam satu desa Mlaran ada
tiga group dolalak  Sri Arum, sri dadi dan satu lagi saya lupa namanya, dari kesemuanya
group dolalak itu bpk Karyadi yang memimpin dan kemudian diambil alih orang yang tidak suka
sama bpk karyadi, itulah sedikit komentar dari saya dan saya usul pada pemda purworejo
bagaimana supaya tarian dolalak dari desa Mlaran pimpinan bpk karyadi dipatenkan dan menjadi
sumber awal mula tarian dolalak yang diperbanyak oleh group-group lain di Purworejo.
di wilayah Purworejo saja sudah banyak banyak group dolalak lain, takutnya nanti dolalak
diklaim negara lain misalnya Belanda yang menurut sejarah dulu waktu menjajah.

Purworejo (Bagelen) Pusat Tantra di Jawa Tengah Dahulu Kala


Pendopo Tempoe Doeloe
Pada masa keemasan Syiwa Buddha, Purworejo  dikenal sebagai Bagelen.
Menurut sejarah, Kadipaten Bagelen diserahkan kepada Hindia-Belanda oleh pihak Kesultanan Yogyakarta setelah Perang Diponegoro berakhir. Untuk memutus jati diri  Bagelen sebagai daerah yang kuat, wilayah ini dalam kekuasaan Belanda diciutkan menjadi hanya kabupaten  dalam Karesidenan Kedu.
Belanda membangun pemukiman baru di daerah ini dan menamainya Purworejo. Saking waspada akan  perlawanan di tempat ini, Belanda menempatkan barak-barak tentara di sini, sekaligus membangun jalan raya membelah daerah ini agar lebih mudah diawasi.  Begitulah asal mula Purworejo.

Nah, sejak tiba di kabupaten Purworejo, saya diliputi perasaan damai dan tenang. Semula saya heran, di tempat yang sangat cocok untuk peristirahatan ini, kok tak ada pusat meditasi, bahkan katanya tak ada wihara, padahal saya rasa vibrasi tempat latihan yang tenang sangat mendukung di sini.
Setelah saya browsing tentang Purworejo di internet, fill damai ini tak salah. Dari hasil browsing saya tahu, Purworejo atau Bagelen merupakan pusat pengembangan agama Syiwa Buddha (Tantra) di Jawa Tengah sejak kerajaan Galuh-Tarumanegara.
Pada jaman itu, Bagelen atau Purworejo adalah tempat biksu tinggal dan bertapa. Jadi tak heran, vibrasi damai ini masih terasa hingga kini. Bahkan urat nadi kabupaten ini adalah sungai yang bernama Bagawanta, yang berasal dari kata Begawan, karena konon di sepanjang tepi sungai inilah para biksu bermukim!
Malangnya, keluarga teman dekat saya yang non Buddhis yang terpesona indahnya Dharma Guru Buddha yang saya sampaikan, hanya bisa berkata, sayang di sini tak ada wihara. Padahal gereja dan pastoran bertebaran.
Ada yang mau merintis?
Dalam pemikiran, saya mungkin punya ikatan karma dengan tempat ini pada kelahiran yang lalu.
Tercatat sejak SMU, 3 kali saya kelayapan tak jelas sampai di daerah ini. Satu kali bermalam di rumah penduduk dan mandi di permandian air panas alam beramai-ramai dengan penduduk, yang kini tak bisa kulacak keberadaannya.
Kedua, masih di bangku SMU, saya pernah masuk sampai ke tempat paling sakral Petilasan Nyai Bagelen, leluhur orang Purworejo yang dikramatkan penduduk di sini, yang mayoritas muslim kejawen. Berada di dalam petilasan yang dikramatkan itu, yang dikelilingi kuburan muslim, saya agak kaget karena isi dari ruang spesial itu, pusat dari petilasan tersebut yang dijaga juru kunci ternyata sebuah Stupa! Mungkin itu stupa perabuan Nyai Bagelen? Yang ternyata Buddhis!
Faktor kedua adanya pemikiran ikatan karma aku dengan tempat ini, tanpa rencana seminggu ini saya ‘dipaksa’ ada di Purworejo. Kalau bukan oleh karma yang harus diselesaikan, bagaimana mungkin saya ada di sini?

Pendopo Kawedanan Kutoarjo

Uniknya, konon di sini masih hidup tradisi, setelah sunatan anak yang disunat diarak keliling dengan kuda. Jadi ingat tradisi di Negara Buddhis yang juga mengarak anaknya keliling setelah menjadi samanera kecil, terinspirasi kisah Pangeran Siddharta yang meninggalkan istana? Mungkin ini alkuturasi agama pendatang dengan kebudayaan Buddhis setempat yang kuat pada era lalu.
Mau ke sana? Kalau naik bis ac Sinar Jaya dari Pulo Gadung Rp.65.000,- Jakarta – Purworejo. 10 Jam perjalanan. Bisnya sehari 2 kali jalan. Pagi jam 6, kalau sore jam 4. Letak Purworejo sekitar 2 jam dari Yogyakarta, 15 menit dari Candi Borobudur.
Berikut  kutipan dari sebuah blog tentang sejarah Purworejo/Bagelen:
Syiwa-Buddha
Menurut Oteng, dakwah Sunan Geseng di Bagelen dengan mengakomodasi kepercayaan Syiwa-Buddha bukan tanpa alasan. Sejak zaman kerajaan Galuh-Tarumanegara, Bagelen dikenal sebagai pusat perkembangan agama Syiwa-Buddha di Jawa Tengah.
Bahkan, pendiri Bagelen adalah putri Raja Syailendra atau yang disebut warga setempat sebagai Raja Suwela Cala. Di Bagelen juga banyak ditemukan yoni dan lingga peninggalan Wangsa Sanjaya dan Rakai Panangkaran yang beragama Hindu-Syiwa.
Bagelen yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo dikenal sebagai tempat pelarian pangeran dan kesatria Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran Jayakusuma. Demikian pula dengan Raden Caranggasing dari Jenggala.
Di Bagelen bagian selatan banyak pendeta Bhairawa Tantra, yang sakti. Maka, banyak prajurit tangguh dari wilayah ini.
Urat nadi wilayah Bagelen, yaitu Sungai Bagawanta, konon merupakan tempat begawan dan biksu tinggal dan bertapa. Karena itu, sungai itu dinamakan Bagawanta (dari kata begawan). Sebelumnya, berdasarkan prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya, sungai ini bernama Ciwatukora.
Dengan latar belakang semacam itu, tak ada pilihan lain bagi Sunan Kalijaga maupun Sunan Geseng untuk tidak mengakomodasi nilai Syiwa-Buddha. Apalagi dalam beberapa hal ajaran Islam dan Syiwa- Buddha juga memiliki kesamaan.
Memang, karakter khas warga Bagelen kini tak sekental dimasa lalu. Bahkan, secara geografis pun wilayah Bagelen mengerdil. Bila dulu pada masa sebelum tahun 1830 wilayahnya meliputi Berangkal (kini Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Ngaran (Kebumen), dan Karangduwur (Wonosobo bagian selatan), tetapi setelah tahun 1830 Bagelen tinggal wilayah seluas empat kecamatan disebelah timur Purworejo.
Pengerdilan wilayah Bagelen ini tak terlepas dari upaya Belanda menghentikan perlawanan sisa pengikut Pangeran Diponegoro di wilayah ini.

Pendopo Kabupaten Purworejo 1931

Masih tampak
Namun demikian, tradisi Islam-Jawa dalam banyak hal masih tampak. Legimin (66), sesepuh Desa Bagelen, Sabtu (28/1), mengatakan, setiap Jumat Kliwon, Selasa Kliwon, dan Kamis Wage, warga Bagelen mengadakan ritual sesaji kepada leluhur. Biasanya mereka mengunjungi petilasan Nyai Ageng Bagelen di Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo.
“Mereka yang ke petilasan itu tidak hanya yang Kejawen, tetapi juga yang beragama Islam, bahkan Nasrani. Mereka menghormati Nyai Ageng Bagelen sebagai leluhur. Dan, meminta kepada Allah supaya Bagelen selamat dan sejahtera,” tuturnya.
Pada bulan Sura ini, warga Bagelen, baik yang beragama Islam atau penganut Kejawen, melakukan jamasan pusaka. Mereka juga mengunjungi petilasan pepunden, seperti petilasan Nyai Ageng Bagelen, Banyu Urip, petilasan Sunan Geseng dan pepunden yang lain.
Memang, tradisi Islam-Kejawen di Bagelen kini kian tergerus modernitas yang memasuki relung kehidupan di wilayah ini.
Sumber: http: //harpin.wordpress.com

CANTIK NAN ELOK PANORAMA SUNGAI BENGAWAN SOLO


http://dewaproductions.blogspot.com
Bengawan Solo adalah sungai terpanjang di Pulau Jawa dengan dua hulu sungai yaitu dari daerah Pegunungan Kidul, Wonogiri dan Ponorogo, selanjutnya bermuara di daerah Gresik. "Bengawan" dalam bahasa Jawa berarti "sungai yang besar". Di masa lalu, sungai ini pernah dinamakan Wuluyu, Wulayu, dan Semanggi (dieja Semangy dalam naskah bahasa Belanda abad ke-17).
 
Sungai ini panjangnya sekitar 548,53 km dan mengaliri dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur.

 

Bengawan Solo Purba

Aliran Bengawan Solo masa kini terbentuk kira-kira empat juta tahun yang lalu. Sebelumnya terdapat aliran sungai yang mengalir ke selatan, diduga dari hulu yang sama dengan sungai yang sekarang. Karena proses pengangkatan geologis akibat desakan lempeng Indo-Australia yang mendesak daratan Jawa, aliran sungai itu beralih ke utara. Pantai Sadeng di bagian tenggara Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai "muara" Bengawan Solo Purba.

Daerah Hulu

Daerah ini mayoritas meliputi daerah Hulu Kali Tenggar, Hulu Kali Muning, Hulu Waduk Gajah Mungkur serta sebagian Kabupaten Wonogiri dengan penampang sungai yang berbentuk V. Vegetasi pada daerah ini didominasi oleh tumbuhan Akasia. Aktivitas yang banyak dilakukan di dareah ini adalah pertanian, seperti padi dan kacang tanah. Dinding sungai pada daerah ini rata-rata bertebing curam dan tinggi. Karena banyak digunakan untuk pertanian, daerah sekitar sungai pada bagian ini banyak mengalami erosi dan sedimentasi yang cukup tinggi.

Daerah Tengah

Daerah ini mayoritas meliputi daerah Hilir Waduk Gajah Mungkur, sebagian Kabupaten Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten, Solo, Sragen, sebagian Kabupaten Ngawi dan sebagian Tempuran (hilir) Kali Madiun. Selain itu daerah ini merupakan daerah yang padat penduduk. Pada umumnya kegiatan ekonami di daerah bagian sungai ini lebih tinggi daripada bagian hulu dan hilir, dan didominasi oleh kegiatan industri. Akibatnya, banyak limbah yang masuk ke sungai dan mencemari vegetasi di daerah ini. Aktivitas masyarakat yang paling menonjol di daerah ini adalah pertanian, pemanfaatan air sebagai kebutuhan sehari-hari, peternakan dan industri.

Daerah Hilir

Daerah ini mayoritas meliputi daerah sebagian Tempuran (hilir) Kali Madiun, sebagian kabupaten Ngawi, Blora, Bojonegoro, Lamongan, Tuban dan berakhir di Desa Ujungpangkah, Gresik.
Selain itu tempat ini pernah menjadi tempat utama kecelakaan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 421.

Purworejo Disebut Kota Pensiun, Mengapa Demikian...???




Apa sih makna kota pensiun. Apakah sebuah kota yang berisi kumpulan orang-orang yang sudah pensiun. Ataukah sebuah kota yang sudah lelah, sehingga perlu pensiun.

Kalau kalimat yang kedua yang dimaksud, berarti bisa juga disebut pensiunan kota. Artinya, kota ini dulu pernah aktif, pernah maju, pernah populer, pernah menjadi pusat kebudayaan, pemerintahan, perdagangan, industri, dan segala hal yang menunjukkan dinamika sebuah kota, lalu karena berbagai alasan, misalnya tidak produkstif, ditinggal penduduknya, capek, lelah, kemudian istirahat dan duduk manis di rumah menikmati sisa hari tuanya. Benarkah demikian?
Lalu, apa yang menarik dari cap seperti itu. Padahal kita tahu, pensiun identik dengan tua, renta, pasrah, dan tidak produktif. Ya, kalau kita aplikasikan dengan kondisi di lapangan tampaknya pas sekali dengan kondisi kota Purworejo saat ini.
Dari asal usul kata, Purworejo, terdiri dari kata Purwo dan Rejo. Purwo artinya pertama, dahulu, atau di depan. Rejo artinya, ramai, maju, meriah. Purworejo berarti, depan ramai, dulu ramai atau pertamanya ramai.Terjemahan bebas, adalah Purworejo itu sebuah kota yang dulu pernah ramai, atau dulu pernah pernah jaya, maju, pernah hebat. Tapi sekarang…?
Di Jawa Timur ada sebuah Taman Nasional bernama Alas Purwo yang tepatnya terletak di ujung timur Pulau Jawa, yakni di Kabupaten Banyuwangi. Bagi masyarakat sekitar, nama Alas Purwo memiliki arti sebagai hutan pertama, atau hutan tertua di Pulau Jawa. Oleh sebab itu, tak heran bila masyarakat sekitar menganggap Alas Purwo sebagai hutan keramat. Sehingga, selain diminati sebagai tujuan wisata alam, kawasan Alas Purwo juga diyakini memiliki situs-situs yang dianggap mistis yang menjadi magnet bagi para peziarah untuk melakukan berbagai ritual di hutan ini.
Bagaimana dengan Purworejo. Apakah ada peluang untuk menjadi kota keramat atau kota tua yang bisa menarik wisatawan? Mungkin saja bisa, karena di sini ada makam Kyai Sadrach, tokoh penginjil, perintis Gereja Kristen Jawa. Ini menarik karena misionaris Kristen tetapi disebut Kyai. Ada pula Syeh Imam Puro, Ulama Purworejo, Jan Toorop, pelukis Belanda, A.J.G.H. Kostermans, pakar botani Indonesia, Jendral Ahmad Yani, pahlawan revolusi, Kol. Sarwo Edi Wibowo, mertua presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Bustanul Arifin, mantan Kabulog Orde Baru, Jenderal Urip Sumoharjo, tokoh dan pendiri TNI, W.R.Soepratman, pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya” (tapi masih diperdebatkan).
Yang tidak kalah menarik adalah Bukti Geger Menjangan yang konon punya arti khusus buat orang-orang yang dilahirkan di bawah atau di kawasan bukit tersebut. Orang Purworejo dari dulu hingga sekarang dikenal sebagai orang yang teguh dalam berpendirian, tegas, tidak mau kompromi, jujur, dan bertanggung jawab. Maka, ini lagi-lagi konon, setiap pemerintahan pusat “harus” selalu ada tokoh asal Purworejo untuk menjaga moral kabinet.
Tokoh dengan ciri-ciri tersebut ada pada sosok A Yani, Sarwo Edi, Urip Sumoharjo, dan banyak lagi. Yang terakhir Endriartono Sutarto, mantan Panglima TNI yang menolak kompromi dengan SBY, mundur dari komisaris Pertamina, lalu diganti oleh mantan Kapolri Sutanto yang lebih bisa disetrir oleh penguasa.
Kembali ke soal kota pensiun, bisakah Purworejo dibuat seperti kota pensiun di luar negeri? Kata teman saya, di Italia, ada kota pensiun bernama Siena, berpenduduk sekitar 1500-2000 jiwa dengan annual growth sekitar 0,06 persen. Sebanyak 80 persen penduduknya adalah orang-orang jompo, atau orang-orang yang berusia di atas 55 tahun.
Kota ini menarik buat wisatawan yang ingin liburan summer. Kotanya bersih, aman, sejuk dan tenang. Betul-betul kota pensiun. Bagaimana dengan Purworejo? Apakah masih suka disebut kota pensiun, kota kambing atau kota gaplek?

Sumber: Dinas Pariwisata Purworejo.

SILSILAH CANDI PANATARAN, BLITAR




Sejak semula Candi Penataran diperuntukkan sebagai media pemujaan. Informasi tertua berkenaan dengan itu didapati dalam Prasasti Palah bertarikh Saka 1119 (1197 M). Prasasti yang dikeluarkan atas perintah dari raja Kadiri terakhir, yakni Srengga (Kretajaya), berisi penetapan Desa (Thani) Palah sebagai swatantra (sima, perdikan. Status perdikan dari desa Palah berlanjut hingga masa Majapahit) bagi tempat pemujaan kepada Sira Paduka Bhattara Palah.

Sebutan “Palah” kembali dijumpai dalam kakawin Nagarakretagama (LXI/2), yang memberitakan bahwa pada tahun Saka 1283 (1361 Masehi) bulan Wesaka (April - Mei) Baginda Raja [Hayam Wuruk] memuja ke Palah dengan para pengiringnya, berlarut-larut setiap yang indah dikunjunginya untuk menghibur hati, di Lawang Wentar, Manguri, Balitar dan Jimbe. Dari Balitar perjalanan diteruskan ke selatan hingga tiba di Lodaya, kemudian menjelajah laut menyisir pantai.  Bagian lain dari kakawin ini (pupuh XVII/5) menyatakan bahwa setiap tahun setelah musim dingin, Baginda keliling bercengkerama di Desa Sima (selatan Jalagiri, sebelah timur istana), ke Wewe Pikatan di Candi Lima. Bila tidak demikian pergi ke Palah untuk memuja Hyang Acalapati, bisa juga terus ke Balitar dan Jimur mengunjungi bukit-bukit permai. Perihal “Palah” sebagai desa perdikan (sima) juga dinyatakan dalam pipuh LXXII/2), yaitu sebagai desa perdikan para penganut Siwa. Dengan demikian, Nagarakretagama menyebut “Palah” hingga tiga kali, dan sekali menyebut “Hyang Acalapati” sebagai dewata yang dipuja di Palah.

Kunjungan Hayam Wuruk ke Palah pada tahun 1361 dan pada setiap tahun seusai musim dingin (penghujan) memberi cukup bukti bahwa Candi Palah (nama akrkhais dari Candi Penataran) tentulah menduduki tempat penting dalam kerajaan Majapahit. Kendati tidak termasuk dalam kategori dharmahaji ataupun prasada haji, namun tidak diragukan bila Penataran adalah candi nagara (candi kerajaan) Majapahit.

Prasasti Palah menyebut bahwa dewata yang dipuja di Palah adalah “Sira Paduka Bhattara Palah”. Dewata ini dapat kiranya disamakan dengan apa yang di dalam kakawin Nagarakretagama disebut “Hyang Acalapati”. Perkataan “Acalapati” terbentuk dari dua kata, yakni “acala (tak bergerak, gunung, karang)” dan “pati (penguasa, raja)”, sehingga “Acalapati” dapat diartikan ‘Raja Gunung’. Suatu pendapat menyatakan bahwa Acalapati adalah julukan bagi Dewa Siwa sebagai “Dewa Gunung”. Jika benar demikian, berarti dewata utama (istadewata) yang dipuja di Candi Palah adalah Dewa Siwa sebagai Dewa Gunung atau Raja Gunung (Girindra, Girinata). Pendapat ini sejalan dengan keterangan dalam Nagarakretagama, bahwa desa perdikan Palah dihuni oleh penganut Hindu sekte Siwa. Namun pada kenyataan lain, hal itu tak tepat benar dengan keletakan arca-arca pantheon Hindu di Candi Induk Penataran, dimana pada rekonstruksi tubuh Candi Induk (halaman III), berdasarkan indikator yang berupa wahana dewa, diketahui bahwa arca Siwa tidak ditempatkan di dalam bilik utama (garbhagreha), melainkan pada salah satu relung sisi luar sebagaimana halnya dengan arca Brama. Wisnu dan para dewa penjaga penjuru mata angin (lokapala). Oleh karena hingga sejauh ini tidak diketahui dewa siapakah yang ditempatkan di garbhagreha Candi Induk Penataran, maka merujuk kepada keterangan Nagarakretagama di atas, sangat boleh jadi yang ditempatkan di dalam garbhagraha dan pada posisi sebagai istadewata adalah arca Hyang Acalapati dalam bentuk tertentu. Ada kemungkinan Acalapati adalah Dewa Penguasa Gunung Kelud, yang dapat diidentikkan dengan Siwa sebagai Dewa Perusak ataupun Dewa Gunung.

Kelud (Kampud) adalah gunung berapi yang menjadi arah pengkiblatan (orientasi) Candi Palah. Sebagai gunung berapi aktif hingga sekarang. Eksplosinya membawa petaka, utamanya di daerah Blitar, Kediri dan sebagian Malang, yang dahulu menjadi wilayah penting dari Kerajaan Majapahit. Gambaran tentang petaka yang ditimbulkan oleh Gunung Kampud dijumpai di dalam Nagarakretagama “Gemuruh suara Gunung Kampud bergetar, banyak orang-orang hina dan jahat mati tak berdaya.


Ada kemungkinan Candi Panataran adalah tempat pemujaan khusus untuk “meredam murka” Gunung Kelud, semacam media protektorik untuk memperoleh keselamatan bagi wilayah ataupun warga Majapahit. Fungsinya yang demikian itu diperkuat dengan dipilihnya cerita Ramayana dan Kresnayana, dimana keduanya menampilkan awatara Wisnu, yakni Rama dan Kresna sebagai pelakon cerita yang penting. Adapun dasar pertimbangannya adalah Dewa Wisnu adalah Dewa Pelindung atau Dewa Penyelamat. Selain tampil pada relief candi, awatara Wisnu kedapatan pula dalam bentuk arca, yaitu arca Parasu Rama, di muka Candi Angka Tahun bersama dengan sakti (istri)nya, yaitu Sri sebagai Dewi Padi. Fungsi protektorik juga diemban oleh Ganesya dalam fungsi khusus, yakni vicneswara (penolak bahaya atau penghalau rintangan). Arca Ganesya di candi ini diposisikan istimewa. Apabila umumnya pada candi Hindu Siwa, arca Ganesya ditempatkan di relung/bilik sisi belakang, maka di Candi Angka Tahun (halaman II) kompleks Penataran ditempatkan di dalam bilik utama (garbhagreha), sehingga jelas bahwa posisinya pada candi ini adalah sebagai dewa utama (istadewata).   

Candi Penataran merupakan contoh signifikan mahakarya seni rupa masa Hindu-Buddha yang inovatif dan kreatif, sehingga mampu menampilkan gaya khas. Sebagai karya seni, tepatnya seni-rupa dalam arti luas, candi adalah perwujudan ekspresi seni rupa pada suatu masa di masa lampau. Ragam ekspresi seni yang hadir di dalamnya, antara lain meliputi ekspresi: seni bangun, seni pahat, seni sastra visual dalam bertuk relief cerita, serta seni keagamaan.

Halaman Candi Penataran dibagi menjadi tiga, dengan tataran kesucian makin ke belakang semakin suci, disamping itu, elevasi tanah makin ke belakang semakin tinggi. Candi Induk yang merupakan candi utama (main temple) berada di halaman belakang yang paling suci. Apabila dibandingkan dengan lay out percandian bergaya seni Jawa Tengahan yang berpola konsentris, lay out Candi Penataran yang bergaya Jawa Timuran mengarah kepada pola diskonsentris. Pola pembagian halaman menjadi tiga bagian secara gradatif ini bersinambung ke dalam seni bangun sakral di Bali, yang juga berkatagori tiga: jaba, jaba-tengah dan jeroan.

Dalam keberadaannya sekarang, batas tiap bagian halaman Candi Pentaran masih dijumpai indikatornya, berupa sisa pagar pembatas dari tatanan bata. Pada sisi depan tiap reruntuhan gapura masing-masing pembatas halaman dijumpai sepasang arca Dwarapala, yang secara simbolik berfungsi sebagai sang penjaga, tepatnya adalah penjaga pintu (dwara = jalan, pintu, pala = penjaga) dari gangguan-gangguan yang bersifat gaib. Sayang sekali kini pagar pembatas di sisi kanan dan kiri halaman candi belum berhasil ditampakkan, lataran tertutup oleh tanah bentukan baru berupa material vulkanik Gunung Kelud. Selain itu, di sisi utara areal situs berdiri sejumah rumah permanen warga sekitar, yang menjadi kendala serius untuk perluasan halaman candi. Yang jelas, aslinya halaman kompleks Candi Penataran lebih luas daripada luas areal halaman candi sekarang. Selain itu, dalam kondisi sekarang beda elevasi tanah antara halaman II dan III tidak terlampau tampak. Seharusnya, halaman II lebih rendah lagi daripada permukaan tanah sekarang.

Bagi kepentingan studi sejarah arsitektur di Jawa dan Bali Masa Hindu-Buddha, kompleks Candi Penataran adalah contoh yang cukup lengkap. Sayang sakali bentuk utuh dari candi ini belum dapat direkonstruksikan, lantaran ada sejumlah komponen bangunan yang belum diketemukan atau telah musnah ditelan waktu karena terbuat dari bahan yang tidak tahan usia.

Ekspresi seni-pahat di kompleks Candi Penataran tampil dalam tiga katagori bentuk, yaitu berbentuk seni arca (ikonografi), relief candi dan ragam hias candi. Masing-masing katagori terjalin dengan aspek teknis pemahatan, aspek artistik, maupun kaidah-kaidah khusus yang harus dipedomani. Karya seni pahat yang dihasilkan harus dapat memuhi ketentuan sebagaimana yang telah digariskan dalam kitab-kitab pedoman pemahatan arca dan relief, sebab arca dan relief itu bukan merupakan benda profan, melainkan benda sakral yang menjadi tidak syah untuk digunakan sebagai perangkat upacara pemujaan kepada dewata bila tidak sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan. Dengan demikian, seniman pahat masa lalu harus dapat menjaga keberimbangan dari dua hal, yaitu karya seni yang artistik sekaligus tidak menyimpang dari kaidah religis bagi proses dan bentuk pahatannya.

Candi Penataran yang memiliki banyak pahatan yang berupa relief cerita pada sejunlah komponen bangunan dan arca-arcanya, dengan demikian dapat dikatakan sebagai ajang ekspresi bagi susastra visual. Di antaranya adalah cerita Kresnayana yang dipahatkan di Teras II Candi Induk Penataran. Cerita ini adalah gubahan dari Mahabarata, yang pokok isinya mengingatkan kepada lokon wayang, yang berjudul “Noroyono Maling”. Dengan demikian, kedua relief cerita itu menginduk pada wiracarita asal India, yakni Ramayana dan Mahabarata. Yang lebih menarik lagi untuk dicermati dalam kaitan dengan fungsi khusus Candi Penataran sebagai media religius-magis untuk “redam murka” Gunung Kampud (nama arkhais dari Gunung Kelud) adalah kedua relief cerita yang dipahatkan di Candi Induk Penataran pada halaman III yang paling suci ini menampilkan awatara Dewa Wisnu, yaitu tokoh Kresna di dalam cerita Kresnayana dan Rama dalam cerita Ramayana. Selain itu, masih terdapat sebuah cerita asal India, yakni cerita bintarang (fable) atau lazim disebut “Cerita Tantri”, yang berinduk pada himpunan cerita Pancatantra (Tantrikamanaka). Relief ini kedapatan pada Patirthan Dalam, di belakang bawah arca-arca Dwarapala di muka Candi Induk, dan pada bidang membulat (medalion) penutup lobang-lobang ventilasi Candi Naga. Satu lagi relief yang bisa jadi indikator cerita asal India, yaitu pahatan para pendeta tengah membawa genta upacara (ghanta) pada tubuh Candi Naga di halaman ke-2 serta pahatan naga pada pelipit bawah Pendapa Teras I dan II. Pahatan ini berhubungan dengan tema cerita Samodramantana, yang berinduk pada Adaiparwa dalam wiracarita Mahabhaata. Pokok isinya berkenaan dengan air suci (tirtha). Di dalam ritus Hindu ataupun Buddhis, tirtha merupakan kelengkapan yang utama

Adapun relief cerita yang berasal dari Jawa, dan dengan demikian dapat disebut sebagai “cerita orisinal Jawa”, adalah cerita-cerita yang dipahatkan pada Pendapa Teras II Penataran di halaman I – yang kurang sakral apabila dibanding halaman II dan III, antara lain adalah rumpun cerita Panji, Sri Tanjung, Sang Satyawan, Bubhuksah-Gagang Aking, dsb. Bila cerita Ramayana dan Kresnayana ditokoh oleh manusia dan awatara dewa, sementara cerita Tantri ditokohi oleh binatang yang berperilaku seperti manusia, maka cerita-cerita lokal Jawa di Pendapa Teras II ditokohi oleh manusia biasa. Jika menilik tempat pemahatannya, cerita asal India, khususnya yang menampilkan tokoh dewata, diposisikan di candi utama (induk) yang berada di halaman tersuci (halaman III).

Candi Penataran dapat dimasukkan ke dalam candi bergaya Majapahit. Salah satu cirinya adalah mempunyai pola arsitektur berundak, sebagaimana tampak pada tubuh dan kaki Candi Induk yang berteras tiga, makin ke atas semakin menjorok ke belakang, pada mana tubuh dan atap candi ditempatkan (di atas teras III). Kendati bagian atapnya belum diketemukan, lantaran telah musnah karena terbuat dari bahan yang tak tahan usia, namun diperkirakan memiliki bentuk tumpang (meru). Bangunan serupa ini didapati contohnya pada relief cerita Ramayana sisi utara. Bentuk atap meru banyak didapati pada bangunan suci (pura) di Bali. Demikian juga, pola pembagian halaman atas tiga bagian maupun tata letaknya yang diskonsentris menjadi pola umum dari bangunan pura. Oleh karena itu, cukup alasan untuk menyatakan bahwa Candi Penataran merupakan pola arsitektur sakral yang berpengaruh luas dan dilestarikan di Bali hingga kini dalam bentuk pura. Bahkan, fungsi khusus dari Candi Penataran sebagai media protektorik terhadap gunung berapi aktif bisa dibandingkan dengan fungsi Pura Besakih terhadap Gunung Agung.  

Ciri Majapahitan juga tampak jelas dalam relief dan arca di Candi Penataran. Pada relief cerita Ramayana tampak jelas adanya gaya wayang (lakon), gaya relief yang cukup banyak tampil di percandian masa Majapahit. Relief natarif pada masa Majapahit memiliki dua langgam, yaitu langgam kakawin, dan langgam wayang. Latar pembedanya adalah sumber cerita. Susastra berbentuk kakawin, wawacan dan tutur dijadikan acuan dalam seni pahat bergaya kakawin, sedangkan sastra lakon Mahabarata ataupun Ramayana menjadi acuan untuk seni pahat bergaya wayang.

Ciri Majapahitan juga tampak pada susastra visual yang dipahatkan dalam bentuk relief candi di Candi Penataran. Susastra berbentuk Kidung yang marak berkembang pada masa Majapahit kedapatan tampil di Pendapa Teras II, yang menampilkan cerita orisinal Jawa, seperti cerita-cerita Panji, Sri Tanjung, Sang Satyawan, Bubhuksah-Gagang Aking, dsb Dengan perkataan lain, pada Candi Penataran terjadi transformasi dari susastra lisan (tutur) ataupun susastra tulis ke dalam susastra visual dalam bentuk relief candi. Fenomena transformatif semacam itu tersirat pula dalam relief cerita Ramayana dan Kresnayana di Candi Induk, yang menyiratkan adanya transformasi dari susastra tulis ke dalam lakon seni pertunjukan (wayang kulit).



Salah satu perbedaan prinsip antara percandian bergaya Jawa Tengahan dan Jawa Timuran adalah pada gaya Jawa Tengahan anasir budaya asal India mempunyai pengaruh sangat kuat ke dalam karya budaya di Masa Hindu-Buddha. Anasir budaya asing itu diadopsi ataupun diadaptasi ke dalam berbagai jenis dan bentuk ekspresi budaya. Adapun pada gaya Jawa Timuran, pengaruh India tidak lagi bepengaruh secara dominan dalam karya budaya. Sebaliknya, anasir budaya lokal Jawa tampak menyeruak, adanya susastra kidung dengan kisah yang berlatar sejarah serta lingkungan alam dan budaya Jawa, menguatnya kultus terhadap arwah nenek moyang yang diperdewa – misalnya kultus kepada Dewa Gunung (Hyang Acalapati), munculnya arsitektur berundak, dsb. Ciri-ciri demikian tampil jelas di Candi Penataran. Oleh karenanya cukup alasan untuk menyatakan bahwa candi ini adalah adalah contoh signifikan dari Javanisasi proses dalam kesenian Hindu-Buddha. Aktifitas, kreatifitas maupun upaya inovatif dari seniman pembangun Candi Penataran diperlihatkan dengan amat jelas. Kesemuanya bisa dijadikan sebagai contoh teladan tentang bagaimana penyikapan pelaku budaya terhadap pengaruh budaya asing, dan komitmennya terhadap anasir budaya asli pada sisi lain.     

* Di olah dari tulisan Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum

MENGENAL TUGU DAN MONUMEN DI PURWOREJO



Monumen Jenderal Urip Sumoharjo
Tahukan siapa itu Jenderal Urip Sumoharjo? Yuph beliau adalah Pahlawan Kemerdekaan yang lahir di Kota Purworejo, sebagai warga Purworejo ane bangga, kota kelahiran ane juga menghasilkan Pahlawan Bangsa, nah demi mengenang jasa jasa beliau dalam merebut kemerdekaan, dibangunlah Monumen Jenderal Urip Sumoharjo, dengan pose sedang naik kuda, Monumen ini berlokasi di Ringroad Selatan, Kecamatan Banyuurip, Purworejo.






Tugu Peringatan 5 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia
Di depan Rumah Dinas Bupati Purworejo atau sebelah utara Alun-alun Purworejo berdiri sebuah tugu, mungkin banyak warga Purworejo yang belum tahu namanya atau bahkan tidak peduli dengan keberadaan Tugu ini, padahal tugu ini punya cerita sejarahnya Lho, nama tugu ini adalah Tugu Peringatan 5 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Nah tujuan dibangunnya tugu ini adalah untuk memperingati 5 Tahun Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1950. Pada tahun 1996, tugu ini pernah diubah bentuk bagian bawahnya menjadi mirip Tugu Muda Semarang, namun pada tahun 2008 dipugar kembali sesuai bentuk asli tahun 1950.











Tugu Bank Jateng

Tugu Bank Jateng ini merupakan salah satu dari puluhan tugu yang berdiri di Kota Purworejo, tugu ini terletak di pertigaan Jalan Letjen Suprapto dengan Jalan Urip Sumoharjo, atau Sebelah Utara Pasar Suronegaran, tugu ini dibangun dengan tujuan memperindah kota saja, dengan taman yang berada di sekelilingnya.







Tugu Adipura

Walaupun ane asli orang Purworejo dan dah lama hidup di Purworejo akan tetapi ane baru tahu bahwa tugu yang ada di perempatan GOR atau di depan SMAN 6 Purworejo itu adalah tugu adipura. Dulunya ane tahunya ya cuma tugu hiasan biasa aja, ternyata Purworejo pernah meraih adipura lho, bahkan empat kali berturut turut sebagai kota terbersih yaitu Tahun 1994, 1995, 1996, dan 1997. Nah untuk memperingatinya, dibangunlah tugu ini.






Monumen Tentara Pelajar
Merupakan salah satu monumen yang berada di di Kota Purworejo, dan ane baru tahu kalau monumen itu bernama Monumen Tentara Pelajar, dan pasti banyak juga warga Purworejo yang belum tahu, ane dulu tahunya itu ya monumen 412, karena di sebelah timur dari monumen ini ada pangkalan militer 412. hehe. Nah monumen ini dibangun untuk mengenang jasa para tentara pelajar yang telah merebut kemerdekaan dari penjajah.

Wisata Taman Nasional Pulau Komodo



Pulau Komodo adalah sebuah pulau yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara. Pulau Komodo dikenal sebagai habitat asli hewan komodo. Pulau ini juga merupakan kawasan Taman Nasional Komodo yang dikelola oleh Pemerintah Pusat. Pulau Komodo berada di sebelah timur Pulau Sumbawa, yang dipisahkan oleh Selat Sape.
Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kecamatan Komoda, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pulau Komodo merupakan ujung paling barat Provinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Di Pulau Komodo, hewan komodo hidup dan berkembang biak dengan baik. Hingga Agustus 2009, di pulau ini terdapat sekitar 1300 ekor komodo. Ditambah dengan pulau lain, seperti Pulau Rinca dan dan Gili Motang, jumlah mereka keseluruhan mencapai sekitar 2500 ekor. Ada pula sekitar 100 ekor komodo di Cagar Alam Wae Wuul di daratan Pulau Flores tapi tidak termasuk wilayah Taman Nasional Komodo.
Selain komodo, pulau ini juga menyimpan eksotisme flora yang beragam Kayu Sepang yang oleh warga sekitar digunakan sebagi obat dan bahan pewarna pakaian, pohon nitak ini atau sterculia oblongata di yakini berguna sebagai obat dan bijinya gurih dan enak seperti kacang polong.


Pada tahun 1910 orang Belanda menamai pulau di sisi selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur ini dengan julukan Pulau Komodo. Cerita ini berawal dari Letnan Steyn Van Hens Broek yang mencoba membuktikan laporan pasukan Belanda tentang adanya hewan besar menyerupai naga di pulau tersebut. Steyn lantas membunuh seekor komodo tersebut dan membawa dokumentasinya ke Museum and Botanical Garden di Bogor untuk diteliti.
Tahun 2009, Taman Nasional Komodo dinobatkan menjadi finalis "New Seven Wonders of Nature" yang baru diumumkan pada tahun 2010 melalui voting secara online di www.N7W.com.

Wisata Danau Toba, Sumatera Utara



Dimusim panas, objek wisata Pantai Lumban Silintong yang disambangi banyak keluarga setiap hari Sabtu dan Minggu ramainya luar biasa.Maklum saja, musim panas di bumi Toba Samosir khususnya Balige terbilang panjang, sekitar 9 bulan.Selebihnya musim hujan yang dingin yang “membeku”.

Dari café-café disepanjang Pantai Lumban Silintong, nampak Pelabuhan Balige, Pulau Samosir dan jejeran bukit barisan bahkan nampak Cerobong asap Toba Pulp Lestari di Porsea, Namun kesemuanya itu dapat disaksikan dengan sekali sapuan mata.

Dari jauh tampak kapal-kapal penumpang menujuh pulau Samosir, ada banyak pilihan menikmati Danau Toba dengan mudah dan murah, salah satunya, kunjungi salah satu café-cafe disepanjang pantai Lumban Silintong, duduk santai sembari memesan satu gelas Jus dengan melihat mata telanjang cukup mengeluarkan “koce” sepulu recehan ribuhan, kita dapat mengamati kedahsyatan Danau Toba yang terbentang dengan begitu luas, juga mengasyikkan menikmati keindahan Danau Toba, merupakan kenangan yang tidak terlupakan.



Tampak sejumlah kursi-kursi sebagai tempat bagi pengunjung di cafe Wita, tepi pantai Lumban Silintong, Danau Toba, Balige Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.
Oh………Danau Toba istimewah do ho di ahu.

Potensi Wisata Tersimpan Di Pulau Nias



Kepulauan Nias yang terdiri dari satu pulau utama dan sejumlah pulau kecil yang menghadap Samudera Hindia dikenal sebagai salah satu obyek wisata andalan Provinsi Sumatera Utara.
Meskipun tertimpa bencana beberapa kali, untuk mengembalikan kejayaan seperti sedia kala sejumlah pihak telah berupaya membangun Nias dengan berbasiskan nilai-nilai budaya yang kini terancam lenyap.
Pulau Nias, sebagai pulau utama dengan luas 5.500 kilometer persegi, menyimpan sejumlah misteri dan keunikan. Mulai dari kehidupan seharihari di desa tradisional, saujana budaya, hingga peninggalan megalitik dan arsitektur yang mengagumkan.
Tinggalan-tinggalan para leluhur seperti rumah adat, tradisi lompat batu dan tari perang yang sempat luluh lantak karena gempa tektonik 8,7 SR kini sedang direstorasi.
Dengan berbagai keindahan alamnya, potensi Pariwisata Bahari di Pulau Nias tersebar di hampir sejumlah tempat yang dikenal dengan sebutan 100 pulaunya. Misalnya pantai berpasir putih di Pulau Batu dan Teluk Dalam. Tidak sekedar pantai, wilayah Nias Selatan juga potensial untuk kegiatan wisata air, seperti selam dan selancar yang banyak diminati wisatawan asing.


Sebut saja pantai Sorake yang merupakan surga bagi para peselancar. Pantai ini telah menjadi bagian dari berbagai kegiatan dan kejuaraan tingkat dunia sejak tahun 1993. Ada pula pantai Mo’ale yang terkenal dengan keindahan pasir putihnya.
Wisata budaya juga tidak kalah menariknya untuk kita kunjungi. Desadesa tradisional di Pulau Nias yang masih menyimpan sejumlah tinggalan budaya dan para penutur sejarah dapat menjadi pilihan utama. Selain menjalankan roda perekonomian, kegiatan pariwisata ini mampu mengembalikan kecintaan akan nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh para leluhur.

Goa Selarong, Mengingatkan Kita Akan Perjuangan Pangeran Diponegoro



SIAPA yang tak kenal dengan Pangeran Diponegoro, pejuang berkuda dari tanah Jawa dengan sorban putih dan senjata keris tersebut. Sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan tempat keramat yang satu ini, yaitu Goa Selarong.
Pada masa perlawanan Diponegoro terhadap Belanda pada tahun 1825 sampai 1830, Goa Selarong merupakan kunci keberhasilan perjuangan Diponegoro dan pasukannya. Disamping untuk tempat persembunyian, tempat ini juga dijadikan sebagai markas untuk mengatur strategi guna mengusir kompeni dari tanah Jawa.
Letak wilayah Goa Selarong termasuk ke dalam wilayah Dusun Kembang Putihan, Kelurahan Guwosari, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta. Letaknya berada di selatan Kota Gudeg ini, kira-kira berjarak 30 km dari pusat kota atau jika menggunakan perjalanan darat akan memakan waktu sekitar 45 menit lamanya.
Kompleks Goa Selarong terletak di lokasi perbukutan kapur setinggi kurang lebih 35 m yang dipenuhi oleh pepohonan yang labat nan rindang. Letaknya sangatlah curam, kemiringan bisa sekitar 45 derajat. Untuk mencapainya, siapapun orangnya harus meniti ratusan anak tangga sejauh 400 m untuk bisa sampai ke tempat itu.
Goa Selarong ini berbentuk sempit dengan lebar kira-kira hanya 3 m dan tinggi yang tak lebih dari 2 m, sedangkan panjang ke dalamnya cuma sekitar 3 m saja. Tidak ada yang istimewa dari bentuk Goa Selarong ini. Orang Jawa menyebut goa jenis seperti ini dengan sebutan goa buntet alias buntu tidak tembus berlubang. Jadi, goa ini merupakan cekungan cadas biasa saja tanpa ada tembusannya ke dalam.
Dikatakan oleh Sarimin (75) kepada KRjogja.com, sang juru kunci kompleks Goa Selarong, secara kasat mata memang Goa Selarong tersebut adalah buntu, namun bagi Diponegoro dan para pengikutnya, Goa Selarong merupakan pintu gaib untuk masuk menuju ke dalam perut bukit kapur tersebut.
“Walaupun goa tersebut buntu, namun Pangeran Diponegoro dan pengawalnya bisa menembusnya hingga ke dalam, seolah bisa tinggal berada di dalam bukit tersebut. Jadi, Goa Selarong hanyalah sebagai pintu gaib masuknya saja dan goa yang sebenarnya masih berada jauh di dalamnya,” katanya.
Itulah sebabnya yang membuat mengapa Pangeran Diponegoro dan pasukan setianya akan sangat sulit ditangkap dan sama sekali tidak pernah tersentuh atau sekalipun terlihat oleh mata pasukan Belanda, jika sedang bersembunyi di Goa Selarong ini.
Walaupun pasukan Belanda telah sampai di kompleks tersebut, namun pasukan kompeni tetap saja tidak dapat melihat bahwa sebenarnya terdapat ratusan pasukan Diponegoro bersembunyi di dalam Goa Selarong. Pasukan kompeni hanya berputar-putar di lokasi dan hanya bisa melihat gunungan batu cadas yang tak berpenghuni.


Tak heran jika kemudian untuk memancing seorang Diponegoro agar mau keluar dari Goa Selarong, kompeni Belanda melalui Jendral De Kock harus melakukan politik adu domba dengan cara mengajak berunding Diponegoro di Magelang pada sekitar tahun 1830, untuk kemudian menangkap dan mengasingkannya ke Makasar, Sulawesi Selatan hingga akhir hayatnya di tahun 1855.
Keramatnya kompleks Goa Selarong dengan pintu goa gaibnya yang bernama Goa Selarong ini memang sudah tersohor bagi telinga masyarakat Jawa hingga saat ini. Kompleks ini pun terbilang wingit alias angker, pada malam-malam tertentu seperti malam Jumat Kliwon atau malam Selasa Kliwon, terkadang dari dalam perut Goa Selarong terdengar lantunan gending-gending Jawa yang sedang ditabuh. Ada suaranya, namun tidak ada wujudnya.
Konon diyakini, pada kedua hari tersebut para gaib sedang berkumpul di tempat-temat keramat, termasuk di Goa Selarong ini. Pada saat itulah, dari malam hari sampai subuh tebaran aroma seperti dupa dan kemenyan pasti sangat jelas menyeruak dari Goa Selarong ini.


Pun demikian, ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan di Goa Selarong ini, yaitu meminta pesugihan atau meminta nomor togel. “Hal itu yang sangat tidak disukai oleh gaib di Goa Selarong tersebut. Jika itu dilarang, pasti bencana akan menimpa siapa saja yang melanggarnya,” kata kakek 4 cucu ini.
Bencana tersebut bisa langsung terjadi di tempat itu juga, seperti misalnya terpeleset atau terjatuh dari tebing hingga berakibat kematian. Kalaupun tidak di tempat tersebut, dilain tempat bencana itu pasti akan menghampiri. “Kalau mau mencari pesugihan atau mencari nomor, jangan di tempat sini, mending mencari di tempat lain saja,” ingat Sarimin.

Brastagi, Kota Wisata Di Medan, Sumut



Jakarta mempunyai wisata puncak begitupun Bandung dengan Lembangnya, Medan mempunyai wisata puncak juga yang tidak kalah menarik dan indah. Yaitu didaerah Brastagi, perjalanan dari kota Medan menuju Brastagi memakan waktu 1.5 sd 2 jam perjalanan memakai kendaraan pribadi. Dengan angkutan umum bisa ditempuh dalam waktu 3 jam, karena jarak perjalanan kota Medan menuju brastagi kurang lebih berjarak 50km. disepanjang perjalanan kita dapat menikmati pemandangan yang sangat indah disamping kiri dan kanan jalan kita bisa melihat pemandangan kebun teh dan tembakau, dan aktifitas keseharian masyarakat sumatera utara.

Sebelum memasuki Brastagi kita akan melewati kaban jahe, disini banyak sekali areal perkebunan kebun teh dan tembakau, banyak pasar tradisional disekitar kaban jahe ini. Aktifitas pedagang dan pembeli dipasar layak untuk difoto, dan masyarakatnya pun sangat ramah dengan kedatangan turis dan wisatawan yang melihat. Setelah itu kami pun melanjutkan perjalanan ke brastagi, disini terasa udara semakin sejuk dan dingin. Ingin rasanya mampir dikedai kopi untuk menikmati kopi dan pemandangan disekitar pegunungan ini.

Brastagi merupakan daerah yang sangat indah, daerah yang terletak di Sumatera Utara yang mempunyai ketinggian 1400 meter diatas permukaan laut. Udara disini sangat bersih dan sejuk, ini

karena dikelilingi oleh pegunungan dan hutan – hutan yang sangat indah. Tidak terasa perjalanan selama 1.5jam menjadi sangat menyenangkan. Dari atas perbukitan kita dapat menikmati pemandangan yang hijau dan dapat melihat gunung berapi sinabung dan sibayak. Gunung berapi sibayak masih aktif sampai sekarang dan mempunyai ketinggian 2000 meter, letak gunung sibayak ini tidak jauh dari Brastagi.



Tidak hanya itu, Brastagi sangat terkenal akan sayur dan buah – buahnya, buah yang sangat terkenal disini adalah markisa. Markisa brastagi sangat terkenal sampai keseluruh Indonesia, dan banyak dibuat saripati sirup. Memang dibrastagi kalau kita tidak menikmati buah brastagi memang kurang lengkap rasanya, apalagi cuaca dingin dan sejuk sangat mendukung kita untuk memakan lebih banyak makanan.

Setelah itu kami melanjutkan ke tempat wisata Tongging, disana terdapat Air Terjun yang besar yaitu air terjun Sipiso Piso. Nama Piso mempunyai arti Pisau, memang air terjun ini tajam dan dalam dikelilingi oleh jurang yang sangat dalam di tana sumatera utara, jarak lokasi menuju air terjun ini kalau dari Kabanjahe berjarak 24 km. dan letaknya disekitar tepi

Danau Toba bagian utara. Disekiling air terjun ini mempunyai pemandangan dan jurang yang sangat indah, tinggi air terjun sipiso piso kira kira 130 meter. Saya sangat tertarik untuk menuju air terjun ini, karena jarak dari atas kebawah air terjun ini lumayan jauh jika berjalan kaki. Akhirnya saya memutuskan untuk berjalan menyusuri jalan setapak menuju Air Terjun Sipiso piso, untuk berjalan yang menikung dan curam ini harus sangat berhati hati. Banyak jalan setapak yang sudah rusak dan tidak jarang kita harus merangkak dan bergelayutan disisi jalan, sangat disarankan memakai sepatu dan air minum secukupnya. Untungnya disetiap perjalanan banyak rumah rumahan yang memang dibuat untuk istirahat para pejalan kakinya, jadi kalau tidak kuat atau tiba tiba hujan selama perjalanan kita bisa cukup istirahat.

Sesampai didasar Air Terjun Sipiso Piso, hilang rasa lelah kami karena pemandangan sungai dan air terjun dilihat secara langsung sangatlah indah. Hawa yang terpancar sangat sejuk karena serpihan bulir air dari air terjun membasahi muka kami yang membuat kami berlama lama tinggal dibawah, setelah mengambil beberapa foto kami akhirnya melanjutkan perjalanan kami ke atas. Pada saat jalan balik baru terasa capeknya, karena tidak terasa jalan menuju ke air terjun adalah kebawah. Dan saat ini kita harus mendaki sampai keatas.




Sesampai diatas dengan bersusah payah, kami berada di tempat Wisata Tongging, tongging terletak ditepi Danau Toba dibagian utara dekat air terjun sipiso piso. Ternyata dari sini pemandangan Danau toba sangatlah indah, danau toba diapit oleh 2 pegunungan dari tebing menyusuri kebawah. Kami melepas lelah disini, setelah dengan bersusah payah mendaki dari bawah air terjun sipiso piso. Rasa capek seperti lenyap seketika ketika kita menikmati keindahan Danau Toba, Brastagi meninggalkan kesan mendalam untuk saya. Suatu saat pasti saya akan kembali lagi.