Harapan Kosong itu lebih menyakitkan daripada kenyataan yang pahit sekalipun. . .

Minggu, 24 Februari 2013

Bedug Terbesar Didunia, Hanya Ada Dikota Purworejo



Bedug merupakan sebuah alat yang biasanya digunakan di masjid-masjid atau musholla (kebanyakan di daerah Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur) untuk memberitahukan telah masuk waktu sholat bagi orang Islam, paling sering ditabuh pada hari Jumat, sebelum sholat Jumat. Salah satu bedug terbesar, konon terbesar di dunia seperti yang tertulis di data-data tentang bedug tersebut adalah Bedug Masjid Jami’ Purworejo, Jawa Tengah. Bedug tersebut terbuat dari kayu jati, sering disebut kayu jati Pendowo.

Bedug itulah yang selama ini disebutkan sebagai kelebihan Purworejo, dalam hal peninggalan budaya masa lalu. Selanjutnya diarahkan menjadi daya tarik wisata Purworejo. Apakah bedug tersebut benar-benar menajdi daya tarik Purworejo? Secara pasti saya kurang tahu, tetapi dari beberapa kali saya ke Purworejo kalau sedang pulang kampung, dan sempat ke Masjid Jami’ Purworejo, meskipun hari libur panjang, tetapi pengunjung atau orang yang sholat di masjid itu dan memperhatikan bedug yang terletak di sebelah depan-kiri itu, ternyata tidak begitu banyak.

Setelah disebut atau diklaim sebagai bedug terbesar, lalu apa yang mesti dilakukan? Apakah hanya berhenti seperti itu? Sebenarnya kalau kita (terutama warga Purworejo, di daerah asal maupun di perantauan) mau lebih dalam memaknai, maka seharusnya ada upaya-upaya untuk mengambil sikap, menjadi lebih arif, lebih bersemangat dalam belajar dan bekerja/berkarya, dan sebagainya. Sangat sering simbol yang pada penciptaanya dimaksudkan agar dipelajari dan dikupas maknanya secara lebih dalam, tetapi hanya berhenti hanya sebagai simbol yang diam, bisu dan tak berarti. Masyarakat Indonesia, terutama Jawa yang akrab dengan simbolisme, dalam beberapa tahun ini menjadi kian pragmatis. Tidak mau dengan pemikiran yang dianggap kuno dan memakan banyak waktu, tetapi lebih suka yang praktis dan banal, lebih sering menukai hal-hal yang sedang dan mudah jadi trend atau mainstream.
Kian banyak masjid atau musholla yang bangunan fisiknya megah, tetapi apakah sehabis maghrib masih seramai dulu? Dulu waktu musholla atau kadang disebut langgar masih berdinding anyaman bambu, berlantai kayu karena bangunan rumah panggung, berlampu minyak tanah; sebelum ada listrik masuk desa, sebelum banyak televisi di rumah-rumah, sehabis maghrib banyak orang mengaji di musholla dan di rumah.
Sekarang, ada berapa rumah di desa-desa, kampung-kampung yang sehabis maghrib tidak menyalakan televisi? sangat bisa dihitung dengan jari!
Apa artinya?
Mari kita bangun di sepertiga malam menjelang pagi, merenung, masuk ke dalam diri, nikmati percakapan sepi, dan temukan jawabnya dalam jiwa sunyi!

Wisata Goa Seplawan, Purworejo


Goa Seplawan terletak di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing dengan jarak tempuh + 20 km ke arah Timur dari pusat kota Purworejo dengan ketinggian 700 m dpl sehingga udaranya sangat sejuk. Goa ini memiliki ciri khusus berupa ornamen yang terdapat di dalam goa, antara lain staklatit, staklamit, flowstone, helekit, soda straw, gower dam dan dinding-dindingnya berornamen seperti kerangka ikan. Panjang Goa Seplawan + 700 m dengan cabang-cabang goa sekitar 150-300 m dan berdiameter 15 m. Goa alam yang sangat menakjubkan ini menjadi semakin terkenal dengan diketemukannya arca emas Dewa Syiwa dan Dewi seberat 1,5 kg pada tanggal 28 Agustus 1979 yang sekarang arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Tempat lain yang juga terkait dengan sejarah Kabupaten Purworejo adalah Goa Seplawan, yang berada di wilayah Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing. Goa ini menjadi istimewa karena disebut-sebut dalam Prasasti Kayu Arahiwang. Dalam prasasti itu dengan jelas disebutkan bahwa salah satu tempat yang harus dijaga karena kesuciannya adalah Goa Seplawan.

Dan agaknya hal itu memang benar. Karena saat pertama kali ditemukan pada tanggal 28 Agustus 1979, di dalam salah satu lorong goa ditemukan sebuah arca sepasang dewa dewi yang terbuat dari emas murni. Keberadaan patung sepasang dewa dewi yang tak lain adalah Dewa Syiwa dan Dewi Parwati ( seberat 1,5 kg ) tersebut, menunjukkan kalau Goa Seplawan sebelumnya dijadikan sebagai tempat pemujaan.

Patung itu kemudian dibawa ke Jakarta dan disimpan di Musium Nasional Jakarta. Sebagai gantinya pemerintah membuatkan replika patung itu tepat di depan mulut goa. Tujuannya adalah untuk mengingatkan kepada para pengunjung bahwa goa ini pada dasarnya adalah tempat suci yang disakralkan oleh masyarakat pada zaman dulu. Selain sakral, goa ini juga memiliki keindahan yang sangat luar biasa. Hamparan stalaktit dan stalagnit di setiap lorong goa, menciptakan kesan tersendiri bagi para pengunjung goa. Tak hanya itu gemericik air yang menetes dari bebatuan penyusun goa mampu menenangkan hati siapapun yang masuk ke dalamnya.

Goa ini memiliki panjang + 700 meter dengan cabang-cabang goa sekitar 150 – 300 meter dan berdiameter 15 meter. Sehingga untuk masuk ke dalam goa, pengunjung harus menyusuri anak tangga menurun yang cukup melalahkan. Yang mana rasa lelah itu akan segera hilang begitu mulai memasuki mulut goa. Sebab dari mulut goa itu saja keindahan ukiran batu di dalam goa sudah terlihat jelas.

Makanya tak heran kalau pengunjung betah berlama-lama tinggal di dalam goa tersebut. Bahkan terkadang ada orang yang sengaja masuk dan tinggal selama beberapa hari di dalam goa untuk melakukan ritual. Dan hal ini bisa diketahui dari aroma hioswa dan minyak wangi yang menyeruak dari salah satu ruangan di dalam gua tersebut. Karena agaknya ruangan tersebut memang kerap dipakai untuk menggelar ritual.

Ritual di dalam goa itu sebenarnya adalah rangkaian dari ritual yang biasa dilakukan di Candi Gondoarum yang berada tidak jauh dari Goa Seplawan. Candi Gondoarum sendiri saat ini nyaris tak berbentuk lagi. Yang tersisa hanyalah bekas-bekas pondasi dasar candi, yang sepintas terlihat mirip batu biasa yang berserakan. Hanya saja yang membedakan adalah, adanya beberapa guratan ukiran pada beberapa sisi batu yang bila dirangkai bisa saling berhubungan.

“ Candi ini diduga lebih tua dari pada Candi Borobudur. Dan disebut Gondoarum karena waktu lingga yoninya diangkat, keluar semerbak bau harum. Sehingga sampai sekarang tidak ada orang yang berani berbuat jelek di tempat ini. “

Letak lingga yoni itu sendiri tepat di samping candi, dan sekarang telah dibuatkan satu cungkup sederhana untuk melindunginya. Sebenarnya pihak museum berniat mengamankan benda itu. Namun sepertinya “ penunggu “nya tidak mengijinkan. Sehingga sampai sekarang batu yang merupakan simbol penyatuan kehidupan tersebut tetap dibiarkan di tempat semula.

sumber : www.purworejokab.go.id

Goa Seplawan terletak di Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing dengan jarak tempuh + 20 km ke arah Timur dari pusat kota Purworejo dengan ketinggian 700 m dpl sehingga udaranya sangat sejuk. Goa ini memiliki ciri khusus berupa ornamen yang terdapat di dalam goa, antara lain staklatit, staklamit, flowstone, helekit, soda straw, gower dam dan dinding-dindingnya berornamen seperti kerangka ikan. Panjang Goa Seplawan + 700 m dengan cabang-cabang goa sekitar 150-300 m dan berdiameter 15 m. Goa alam yang sangat menakjubkan ini menjadi semakin terkenal dengan diketemukannya arca emas Dewa Syiwa dan Dewi seberat 1,5 kg pada tanggal 28 Agustus 1979 yang sekarang arca tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Tempat lain yang juga terkait dengan sejarah Kabupaten Purworejo adalah Goa Seplawan, yang berada di wilayah Desa Donorejo, Kecamatan Kaligesing. Goa ini menjadi istimewa karena disebut-sebut dalam Prasasti Kayu Arahiwang. Dalam prasasti itu dengan jelas disebutkan bahwa salah satu tempat yang harus dijaga karena kesuciannya adalah Goa Seplawan.

Dan agaknya hal itu memang benar. Karena saat pertama kali ditemukan pada tanggal 28 Agustus 1979, di dalam salah satu lorong goa ditemukan sebuah arca sepasang dewa dewi yang terbuat dari emas murni. Keberadaan patung sepasang dewa dewi yang tak lain adalah Dewa Syiwa dan Dewi Parwati ( seberat 1,5 kg ) tersebut, menunjukkan kalau Goa Seplawan sebelumnya dijadikan sebagai tempat pemujaan.

Patung itu kemudian dibawa ke Jakarta dan disimpan di Musium Nasional Jakarta. Sebagai gantinya pemerintah membuatkan replika patung itu tepat di depan mulut goa. Tujuannya adalah untuk mengingatkan kepada para pengunjung bahwa goa ini pada dasarnya adalah tempat suci yang disakralkan oleh masyarakat pada zaman dulu. Selain sakral, goa ini juga memiliki keindahan yang sangat luar biasa. Hamparan stalaktit dan stalagnit di setiap lorong goa, menciptakan kesan tersendiri bagi para pengunjung goa. Tak hanya itu gemericik air yang menetes dari bebatuan penyusun goa mampu menenangkan hati siapapun yang masuk ke dalamnya.

Goa ini memiliki panjang + 700 meter dengan cabang-cabang goa sekitar 150 – 300 meter dan berdiameter 15 meter. Sehingga untuk masuk ke dalam goa, pengunjung harus menyusuri anak tangga menurun yang cukup melalahkan. Yang mana rasa lelah itu akan segera hilang begitu mulai memasuki mulut goa. Sebab dari mulut goa itu saja keindahan ukiran batu di dalam goa sudah terlihat jelas.

Makanya tak heran kalau pengunjung betah berlama-lama tinggal di dalam goa tersebut. Bahkan terkadang ada orang yang sengaja masuk dan tinggal selama beberapa hari di dalam goa untuk melakukan ritual. Dan hal ini bisa diketahui dari aroma hioswa dan minyak wangi yang menyeruak dari salah satu ruangan di dalam gua tersebut. Karena agaknya ruangan tersebut memang kerap dipakai untuk menggelar ritual.

Ritual di dalam goa itu sebenarnya adalah rangkaian dari ritual yang biasa dilakukan di Candi Gondoarum yang berada tidak jauh dari Goa Seplawan. Candi Gondoarum sendiri saat ini nyaris tak berbentuk lagi. Yang tersisa hanyalah bekas-bekas pondasi dasar candi, yang sepintas terlihat mirip batu biasa yang berserakan. Hanya saja yang membedakan adalah, adanya beberapa guratan ukiran pada beberapa sisi batu yang bila dirangkai bisa saling berhubungan.

“ Candi ini diduga lebih tua dari pada Candi Borobudur. Dan disebut Gondoarum karena waktu lingga yoninya diangkat, keluar semerbak bau harum. Sehingga sampai sekarang tidak ada orang yang berani berbuat jelek di tempat ini. “

Letak lingga yoni itu sendiri tepat di samping candi, dan sekarang telah dibuatkan satu cungkup sederhana untuk melindunginya. Sebenarnya pihak museum berniat mengamankan benda itu. Namun sepertinya “ penunggu “nya tidak mengijinkan. Sehingga sampai sekarang batu yang merupakan simbol penyatuan kehidupan tersebut tetap dibiarkan di tempat semula.

sumber : www.purworejokab.go.id

BANDUNG, PARIJS VAN JAVA


Braga_1968

Bandung yang kini telah berusia 200 tahun memang selalu menarik untuk dikunjungi. Lihat saja setiap akhir pekan mobil-mobil bernomor Jakarta dan kota-kota lain memenuhi jalan-jalan utama di kota Bandung. Apa yang sebenarnya menjadi daya tarik Bandung? Pastinya bagi masyarakat umum Bandung dikenal sebagai surga wisata belanja karena terdapat ratusan gerai factory outlet yang dapat memuaskan keinginan pengunjungnya untuk membeli baju-baju yang sesuai dengan trend mode masa kini. selain itu aneka makanan jajanannya yang khas dan lezat juga siap memanjakan perut para wisatawan yang keroncongan setelah seharian berbelanja baju.
Namun sebenarnya Bandung tak hanya menyajikan wisata mode dan makanan saja, kota yang pernah dijuluki Parijs van Java ini ternyata masih menyimpan banyak kekayaan wisata lain yang tak kalah memesona. Rasanya terlalu sayang jika mengunjungi Bandung hanya untuk membeli baju lalu berwisata kuliner saja. Lalu apa saja tempat-tempat lain yang layak dikunjungi? Buku “Wisata Parijs Van Java” karya wartawan senior Kompas Her Suganda ini mencoba menyuguhkan berbagai obyek dan tempat di Bandung dan sekitarnya yang ternyata menarik untuk dikunjungi para wisatawan dalam dan luar kota.
Di buku setebal 331 halaman ini penulis berusaha memenuhi rasa ingin tahu pembaca yang ingin berkunjung ke Bandung. Dan ternyata obyek-obyek wisata yang pantas dikunjungi di Bandung tidaklah sedikit, setidaknya buku ini memuat lebih dari tiga puluh tempat yang layak dikunjungi.
Buku ini membagi tujuan wisata Bandung ke dalam 6 bagian yang dimulai dari wisata sejarah menyusuri gedung-gedung bersejarah di kota Bandung, tempat-tempat ilmu pengetahuan dan seni, wisata kota, wisata alam dan argo, wisata kuliner, wisata belanja, plus bab tersendiri mengenai transportasi dan akomodasi di kota Bandung. Dan sebagai pelengkap, buku ini juga menyajikan daftar alamat dan nomor-nomor telepon penting dari berbagai lokasi wisata, hotel, travel, toko oleh-oleh, souvenir, rumah sakit, dan sebagainya.
Bagi yang menyukai wisata sejarah dan ingin menyelusuri bangunan-bangunan bersejarah (Gedung Sate,


Gedung Merdeka, Museum Pos, dsb) yang banyak terdapat di kota Bandung buku ini bisa dijadikan panduan yang sangat baik. Selain menyimpan banyak bangunan bersejarah dari masa kolonial Belanda, beberapa bagunan di kota Bandung juga bisa menjadi saksi perjalanan hidup Bung Karno. Untuk itu buku ini menyajikan bagian khusus bagi pembacanya untuk berwisata sejarah sambil menapak Jejak Langkah Bung Karno di Bandung mulai dari sel no. 5 Penjara Banceuy yang kini berada di tengah-tengah area pertokoan, gedung Landraad ( gd. Indonesia Menggugat), penjara Sukamiskin, Institut Teknologi Bandung tempat Bung Karno meraih gelar Insinyurnya, rumah bersejarah Inggit Ganarsih, dan beberapa bangunan di Bandung yang merupakan rancangan Ir. Sukarno.
Khusus mengenai rumah-rumah rancangan Bung Karno, buku ini mencatat ada 11 rumah yang hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Salah satu ciri khas hasil rancangan Bung Karno ada pada bagian atas bangunan-bangunan tersebut yaitu terdapat hiasan berupa gada. Ada yang berpendapat bahwa hiasan tersebut merupakan bagian dari pengaruh dunia pewayangan yang banyak mempengaruhi pikiran Bung Karno. Gada sendiri merupakan senjata yang biasa digunakan oleh tokoh wayang Bima.
Di bagian ilmu pengetahuan dan seni, buku ini menyajikan tempat-tempat di Bandung yang hingga kini menjadi pusat penelitian iptek dan perkembangan seni seperti Museum Geologi yang menyimpan fosil gajah purba dan 13 meteorit yang pernah jatuh di Pulau Jawa antara lain Meteorit Prambanan yang jatuh ke bumi pada tahun 1865. Di museum ini tercatat bahwa ketika sampai di bumi bobot meteorit tersebut mencapai 10 ton!.
Lalu ada pula Observatorium Boscha yang dibangun pada tahun 1912. Bangunan utamanya unik karena berbentuk kubah putih yang atapnya bisa dibuka dan ditutup untuk mengamati benda-benda angkasa. Di Observatorium Boscha ini terdapat teleskop Zeiss yang memiliki panjang tabung sekitar 11 meter dan diameter 150 cm. Saking besarnya teleskop ini sering dijuluki “Mata Raksaksa”.
Di bagian seni, terdapat tempat wisata-wisata seni yang layak dikujungi, antara lain Museum Barli yang juga menyediakan tempat untuk belajar melukis dan Saung Angklung Udjo yang jadi tujuan wajib para wisatawan mancanegara. Walau tidak setenar batik Yogya dan Solo ternyata Bandung juga memiliki tempat kegiatan membatik yang terletak di Jl Cigadung Timur dan Jalan Pesantren (Cimahi) dimana kedua tempat ini membuka diri untuk para pengunjungnya sehingga pengunjung bisa mengenal dan belajar membatik sendiri.
Untuk wisata belanja dan kuliner, selain tentang FO yang telah menjadi salah satu icon Bandung, buku ini juga mengulas tentang dua lokasi yang sedari masa lampau telah menjadi pusat fashion yaitu Pasar Baru dan jalan Tamin hingga sentra baju bekas Cimol (Cibadak Mall). Sedangkan untuk urusan perut selain menyajikan jajanan khas Bandung terungkap pula tempat yang direkomendasikan bagi para vegetarian. Tak ketinggalan pula tempat berjualan makanan ekstrim seperti sate kuda dan sate biawak.


Yang membuat buku ini menarik adalah bagaimana penulisnya menuturkan tempat-tempat tujuan wisata itu dengan detail dalam kemasan jurnalistik yang enak dibaca dan perlu. Jadi buku ini tak hanya menyajikan nama dan tempat wisata saja melainkan memberikan gambaran lengkap dan rinci mengenai sejarah, latar belakang, suasana, dan hal-hal menarik yang jarang terungkap dalam buku-buku panduan wisata lain. Selain itu ratusan foto-foto yang dicetak secara tajam dan tata letaknya yang dinamis juga membuat buku ini menjadi lebih informatif.
Jadi jika kita sering bertandang ke Bandung, buku ini bisa menjadi buku panduan untuk menyusuri kota Bandung dan sekitarnya yang mungkin belum kita ketahui selama ini. Tidak hanya bagi mereka yang sering berwisata ke kota Bandung buku ini juga layak dimiliki oleh warga Bandung sendiri yang ingin mengenal kotanya lebih dalam lagi. Bukan tak mungkin banyak orang Bandung sendiri yang mungkin tidak mengetahui tempat-tempat wisata beserta sisi-sisi menariknya yang terdapat dalam buku ini.
Selain itu buku ini juga tentunya dapat membangun kesadaran masyarakat luas bahwa sebetulnya Bandung bukan hanya surga belanja dan kuliner seperti yang telah dikenal selama ini. Di buku ini akan terungkap bahwa ada banyak tujuan wisata lain yang dapat memperluas pemahaman kita akan ilmu pengetahuan, sejarah, kesenian, dan peradaban dari sebuah kota yang dulu pernah dipersiapkan menjadi ibu kota pemerintahan Hindia Belanda dan sempat dijuluki sebagai Parijs van Java.

INDAH NAN ANGGUN PANTAI PELABUHAN RATU


Pantai Palabuhanratu, atau lebih populer sebagai Pantai Pelabuhan Ratu, adalah sebuah tempat wisata di pesisir samudera hindia di selatan Jawa Barat. Lokasinya terletak sekitar 60 km ke arah selatan dari Kota Sukabumi.
Pantai ini dikenal memiliki ombak yang sangat kuat dan karena itu berbahaya bagi perenang pantai. Topografinya berupa perpaduan antara pantai yang curam dan landai, tebing karang terjal, hempasan ombak, dan hutan cagar alam.
Karena tempat ini mempunyai daya tarik sendiri, Presiden Soekarno mendirikan tempat peristirahatannya pada tahun 1960 di Tenjo Resmi. Selain itu, atas inisiatif Soekarno pula didirikanlah Samudera Indonesia Beach Hotel, salah satu hotel mewah pertama yang dibangun di Indonesia pada kurun waktu yang sama dengan beberapa hotel-hotel besar di Indonesia lainnya, dan Toko Serba Ada "sarinah", yang kesemuanya menggunakan dana pampasan perang dari Jepang.

FASILITAS REKREASI
Selain hotel besar dan mewah Samudera Beach Hotel, di daerah ini terdapat pula sejumlah hotel dan losmen kecil, Pondok Dewata resor adalah salah satu villa mewah yang cukup laris dikunjungi wisatawan. Tidak berapa jauh dari Pantai Palabuhanratu terdapat beberapa lokasi wisata lainnya. Pantai Karang Hawu, yang letaknya sekitar 20 km dari pusat kota Palabuhanratu, merupakan pantai karang yang menjorok ke laut dan berlubang di beberapa bagian itu. Bentuk karangnya lebih mirip tungku, dalam bahasa sunda disebut "Hawu". Pantai-pantai lain yang terletak di daerah ini antara lain adalah Pantai Cibareno, Cimaja, Cibangban, Break Water, Citepus, Kebon Kelapa, dan Tenjo Resmi.
Sekitar 17 km dari Pantai Palabuhanratu terdapat sumber air panas di Cisolok, yang airnya mengandung belerang yang tinggi dan berguna bagi kesehatan.
Di seputar Palabuhanratu, paling tidak ada sembilan titik lokasi untuk berselancar, yaitu di Batu Guram, Karang Sari, Samudra Beach, Cimaja, Karang Haji, Indicator, Sunset Beach, Ombak Tujuh sampai Ujung Genteng. Masing-masing pantai mempunyai ombak dengan karakteristiknya sendiri.

MITOS
Masyarakat pantai selatan khususnya Pelabuhanratu percaya adanya penguasa laut selatan yaitu Ratu Kidul. Konon, ia adalah seorang ratu yang cantik bagai bidadari. Di Laut Selatan - nama lain dari Samudera Hindia - sebelah selatan Pulau Jawa, ia bertahta pada sebuah kerajaan makhluk halus yang besar dan indah.
Pada bulan April biasanya masyarakat sekitar Palabuhanratu mengadakan ritual upacara adat Hari Nelayan. Hari Nelayan dimaksudkan sebagai syukuran atas rezeki yang telah mereka dapatkan dari hasil laut dan agar dijauhkan dari bencana. Biasanya dalam upacara ini disediakan sesaji berupa kepala karbau yang nantinya akan dilarung ke tengah laut.

PELESTARIAN FAUNA
Pantai Palabuhanratu juga dikenal sebagai tempat bertelur dan berbiaknya penyu yang terancam punah, dan karenanya termasuk salah satu binatang yang dilindungi di dunia. Namun demikian penyu-penyu di Pantai Palabuhanratu masih sering ditangkapi untuk dimakan dagingnya sementara badannya dan kulitnya dijadikan cendera mata dan telurnya diambil untuk dikonsumsi masyarakat.

SEJARAH TARIAN DOLALAK, KESENIAN KHAS PURWOREJO


Foto by:arief design

Dolalak adalah kesenian khas dari Kabupaten Purworejo. Tarian ini merupakan peninggalan
pada zaman penjajahan Belanda. Asal kata Dolalak adalah dari not Do dan La karena tarian
ini diiringi hanya dengan alat musik dua nada, tentunya pada zaman dulu awal mula Dolalak.

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, tarian Dolalak sekarang sudah diringi dengan
musik modern, yaitu keyboard. Lagu-lagu yang dimainkan pun bervariasi dan beragam.
Penari Dolalak hanya dilakukan oleh para wanita, berseragam hitam dengan aksesoris yang
gemerlapan juga ada aksesoris yang khas yaitu kacamata hitam. Penari-penari Dolalak bisa
mengalami trance, yaitu suatu kondisi mereka tidak sadar karena sudah begitu larut dalam
tarian dan musik.
Tingkah mereka bisa aneh-aneh dan lucu. Tarian Dolalak saat ini sudah berkembang pesat
bahkan sudah menjadi brand image Kabupaten Purworejo.
Dolalak semakin populer di kalangan generasi muda. Hal ini tidak luput dari peran
Pemerintah Daerah Purworejo yang terus mengembangkan dan melestarikan kesenian asli
daerah Purworejo ini. Bahkan di setiap event-event tingkat nasional kesenian Dolalak
selalu tampil sebagai suatu kesenian yang unik. Di setiap lomba-lomba kesenian tingkat
nasional kesenian Dolalak selalu menjuarai.

Foto by: arief design

Hal inilah yang selalu mendorong  Kesenian Dolalak selalu ditampilkan
dalam Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia, Jambore Pramuka dari tingkat daerah
sampai Nasional, pertunjukkan budaya antar daerah, bahkan sudah melanglang ke beberapa
negara di Asia dan Eropa. Oleh karena itu Dolalak perlu dipatenkan sebagai kesenian asli
Indonesia pada umumnya dan menjadi kesenian asli daerah Kabupaten Purworejo pada khususnya.
Hal ini bertujuan agar Dolalak tidak diklaim sebagai milik perseorangan, daerah, atau
bahkan bangsa lain.
Setahu saya awal mula kesenian dolalak dari desa Mlaran kec Gebang dan dirintis oleh
bpk Karyadi yang tidak lain adalah mbah saya sendiri, dulu waktu masih jaya bpk Karyadi
selalu memenangkan festival yang yang diadakan di purworejo menjadi no satu group dolalak
Sri Dadi dari Mlaran dan mendapatkan sponsor rokok Djarum 76 sampai pentas ke Ancol dlll
dan sekarang sudah terpecah belah menjadi beberapa group jadi dalam satu desa Mlaran ada
tiga group dolalak  Sri Arum, sri dadi dan satu lagi saya lupa namanya, dari kesemuanya
group dolalak itu bpk Karyadi yang memimpin dan kemudian diambil alih orang yang tidak suka
sama bpk karyadi, itulah sedikit komentar dari saya dan saya usul pada pemda purworejo
bagaimana supaya tarian dolalak dari desa Mlaran pimpinan bpk karyadi dipatenkan dan menjadi
sumber awal mula tarian dolalak yang diperbanyak oleh group-group lain di Purworejo.
di wilayah Purworejo saja sudah banyak banyak group dolalak lain, takutnya nanti dolalak
diklaim negara lain misalnya Belanda yang menurut sejarah dulu waktu menjajah.

Purworejo (Bagelen) Pusat Tantra di Jawa Tengah Dahulu Kala


Pendopo Tempoe Doeloe
Pada masa keemasan Syiwa Buddha, Purworejo  dikenal sebagai Bagelen.
Menurut sejarah, Kadipaten Bagelen diserahkan kepada Hindia-Belanda oleh pihak Kesultanan Yogyakarta setelah Perang Diponegoro berakhir. Untuk memutus jati diri  Bagelen sebagai daerah yang kuat, wilayah ini dalam kekuasaan Belanda diciutkan menjadi hanya kabupaten  dalam Karesidenan Kedu.
Belanda membangun pemukiman baru di daerah ini dan menamainya Purworejo. Saking waspada akan  perlawanan di tempat ini, Belanda menempatkan barak-barak tentara di sini, sekaligus membangun jalan raya membelah daerah ini agar lebih mudah diawasi.  Begitulah asal mula Purworejo.

Nah, sejak tiba di kabupaten Purworejo, saya diliputi perasaan damai dan tenang. Semula saya heran, di tempat yang sangat cocok untuk peristirahatan ini, kok tak ada pusat meditasi, bahkan katanya tak ada wihara, padahal saya rasa vibrasi tempat latihan yang tenang sangat mendukung di sini.
Setelah saya browsing tentang Purworejo di internet, fill damai ini tak salah. Dari hasil browsing saya tahu, Purworejo atau Bagelen merupakan pusat pengembangan agama Syiwa Buddha (Tantra) di Jawa Tengah sejak kerajaan Galuh-Tarumanegara.
Pada jaman itu, Bagelen atau Purworejo adalah tempat biksu tinggal dan bertapa. Jadi tak heran, vibrasi damai ini masih terasa hingga kini. Bahkan urat nadi kabupaten ini adalah sungai yang bernama Bagawanta, yang berasal dari kata Begawan, karena konon di sepanjang tepi sungai inilah para biksu bermukim!
Malangnya, keluarga teman dekat saya yang non Buddhis yang terpesona indahnya Dharma Guru Buddha yang saya sampaikan, hanya bisa berkata, sayang di sini tak ada wihara. Padahal gereja dan pastoran bertebaran.
Ada yang mau merintis?
Dalam pemikiran, saya mungkin punya ikatan karma dengan tempat ini pada kelahiran yang lalu.
Tercatat sejak SMU, 3 kali saya kelayapan tak jelas sampai di daerah ini. Satu kali bermalam di rumah penduduk dan mandi di permandian air panas alam beramai-ramai dengan penduduk, yang kini tak bisa kulacak keberadaannya.
Kedua, masih di bangku SMU, saya pernah masuk sampai ke tempat paling sakral Petilasan Nyai Bagelen, leluhur orang Purworejo yang dikramatkan penduduk di sini, yang mayoritas muslim kejawen. Berada di dalam petilasan yang dikramatkan itu, yang dikelilingi kuburan muslim, saya agak kaget karena isi dari ruang spesial itu, pusat dari petilasan tersebut yang dijaga juru kunci ternyata sebuah Stupa! Mungkin itu stupa perabuan Nyai Bagelen? Yang ternyata Buddhis!
Faktor kedua adanya pemikiran ikatan karma aku dengan tempat ini, tanpa rencana seminggu ini saya ‘dipaksa’ ada di Purworejo. Kalau bukan oleh karma yang harus diselesaikan, bagaimana mungkin saya ada di sini?

Pendopo Kawedanan Kutoarjo

Uniknya, konon di sini masih hidup tradisi, setelah sunatan anak yang disunat diarak keliling dengan kuda. Jadi ingat tradisi di Negara Buddhis yang juga mengarak anaknya keliling setelah menjadi samanera kecil, terinspirasi kisah Pangeran Siddharta yang meninggalkan istana? Mungkin ini alkuturasi agama pendatang dengan kebudayaan Buddhis setempat yang kuat pada era lalu.
Mau ke sana? Kalau naik bis ac Sinar Jaya dari Pulo Gadung Rp.65.000,- Jakarta – Purworejo. 10 Jam perjalanan. Bisnya sehari 2 kali jalan. Pagi jam 6, kalau sore jam 4. Letak Purworejo sekitar 2 jam dari Yogyakarta, 15 menit dari Candi Borobudur.
Berikut  kutipan dari sebuah blog tentang sejarah Purworejo/Bagelen:
Syiwa-Buddha
Menurut Oteng, dakwah Sunan Geseng di Bagelen dengan mengakomodasi kepercayaan Syiwa-Buddha bukan tanpa alasan. Sejak zaman kerajaan Galuh-Tarumanegara, Bagelen dikenal sebagai pusat perkembangan agama Syiwa-Buddha di Jawa Tengah.
Bahkan, pendiri Bagelen adalah putri Raja Syailendra atau yang disebut warga setempat sebagai Raja Suwela Cala. Di Bagelen juga banyak ditemukan yoni dan lingga peninggalan Wangsa Sanjaya dan Rakai Panangkaran yang beragama Hindu-Syiwa.
Bagelen yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo dikenal sebagai tempat pelarian pangeran dan kesatria Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran Jayakusuma. Demikian pula dengan Raden Caranggasing dari Jenggala.
Di Bagelen bagian selatan banyak pendeta Bhairawa Tantra, yang sakti. Maka, banyak prajurit tangguh dari wilayah ini.
Urat nadi wilayah Bagelen, yaitu Sungai Bagawanta, konon merupakan tempat begawan dan biksu tinggal dan bertapa. Karena itu, sungai itu dinamakan Bagawanta (dari kata begawan). Sebelumnya, berdasarkan prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya, sungai ini bernama Ciwatukora.
Dengan latar belakang semacam itu, tak ada pilihan lain bagi Sunan Kalijaga maupun Sunan Geseng untuk tidak mengakomodasi nilai Syiwa-Buddha. Apalagi dalam beberapa hal ajaran Islam dan Syiwa- Buddha juga memiliki kesamaan.
Memang, karakter khas warga Bagelen kini tak sekental dimasa lalu. Bahkan, secara geografis pun wilayah Bagelen mengerdil. Bila dulu pada masa sebelum tahun 1830 wilayahnya meliputi Berangkal (kini Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Ngaran (Kebumen), dan Karangduwur (Wonosobo bagian selatan), tetapi setelah tahun 1830 Bagelen tinggal wilayah seluas empat kecamatan disebelah timur Purworejo.
Pengerdilan wilayah Bagelen ini tak terlepas dari upaya Belanda menghentikan perlawanan sisa pengikut Pangeran Diponegoro di wilayah ini.

Pendopo Kabupaten Purworejo 1931

Masih tampak
Namun demikian, tradisi Islam-Jawa dalam banyak hal masih tampak. Legimin (66), sesepuh Desa Bagelen, Sabtu (28/1), mengatakan, setiap Jumat Kliwon, Selasa Kliwon, dan Kamis Wage, warga Bagelen mengadakan ritual sesaji kepada leluhur. Biasanya mereka mengunjungi petilasan Nyai Ageng Bagelen di Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo.
“Mereka yang ke petilasan itu tidak hanya yang Kejawen, tetapi juga yang beragama Islam, bahkan Nasrani. Mereka menghormati Nyai Ageng Bagelen sebagai leluhur. Dan, meminta kepada Allah supaya Bagelen selamat dan sejahtera,” tuturnya.
Pada bulan Sura ini, warga Bagelen, baik yang beragama Islam atau penganut Kejawen, melakukan jamasan pusaka. Mereka juga mengunjungi petilasan pepunden, seperti petilasan Nyai Ageng Bagelen, Banyu Urip, petilasan Sunan Geseng dan pepunden yang lain.
Memang, tradisi Islam-Kejawen di Bagelen kini kian tergerus modernitas yang memasuki relung kehidupan di wilayah ini.
Sumber: http: //harpin.wordpress.com

CANTIK NAN ELOK PANORAMA SUNGAI BENGAWAN SOLO


http://dewaproductions.blogspot.com
Bengawan Solo adalah sungai terpanjang di Pulau Jawa dengan dua hulu sungai yaitu dari daerah Pegunungan Kidul, Wonogiri dan Ponorogo, selanjutnya bermuara di daerah Gresik. "Bengawan" dalam bahasa Jawa berarti "sungai yang besar". Di masa lalu, sungai ini pernah dinamakan Wuluyu, Wulayu, dan Semanggi (dieja Semangy dalam naskah bahasa Belanda abad ke-17).
 
Sungai ini panjangnya sekitar 548,53 km dan mengaliri dua provinsi yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur.

 

Bengawan Solo Purba

Aliran Bengawan Solo masa kini terbentuk kira-kira empat juta tahun yang lalu. Sebelumnya terdapat aliran sungai yang mengalir ke selatan, diduga dari hulu yang sama dengan sungai yang sekarang. Karena proses pengangkatan geologis akibat desakan lempeng Indo-Australia yang mendesak daratan Jawa, aliran sungai itu beralih ke utara. Pantai Sadeng di bagian tenggara Daerah Istimewa Yogyakarta dikenal sebagai "muara" Bengawan Solo Purba.

Daerah Hulu

Daerah ini mayoritas meliputi daerah Hulu Kali Tenggar, Hulu Kali Muning, Hulu Waduk Gajah Mungkur serta sebagian Kabupaten Wonogiri dengan penampang sungai yang berbentuk V. Vegetasi pada daerah ini didominasi oleh tumbuhan Akasia. Aktivitas yang banyak dilakukan di dareah ini adalah pertanian, seperti padi dan kacang tanah. Dinding sungai pada daerah ini rata-rata bertebing curam dan tinggi. Karena banyak digunakan untuk pertanian, daerah sekitar sungai pada bagian ini banyak mengalami erosi dan sedimentasi yang cukup tinggi.

Daerah Tengah

Daerah ini mayoritas meliputi daerah Hilir Waduk Gajah Mungkur, sebagian Kabupaten Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten, Solo, Sragen, sebagian Kabupaten Ngawi dan sebagian Tempuran (hilir) Kali Madiun. Selain itu daerah ini merupakan daerah yang padat penduduk. Pada umumnya kegiatan ekonami di daerah bagian sungai ini lebih tinggi daripada bagian hulu dan hilir, dan didominasi oleh kegiatan industri. Akibatnya, banyak limbah yang masuk ke sungai dan mencemari vegetasi di daerah ini. Aktivitas masyarakat yang paling menonjol di daerah ini adalah pertanian, pemanfaatan air sebagai kebutuhan sehari-hari, peternakan dan industri.

Daerah Hilir

Daerah ini mayoritas meliputi daerah sebagian Tempuran (hilir) Kali Madiun, sebagian kabupaten Ngawi, Blora, Bojonegoro, Lamongan, Tuban dan berakhir di Desa Ujungpangkah, Gresik.
Selain itu tempat ini pernah menjadi tempat utama kecelakaan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 421.