Sejak semula Candi
Penataran diperuntukkan sebagai media pemujaan. Informasi tertua
berkenaan dengan itu didapati dalam Prasasti Palah bertarikh Saka 1119
(1197 M). Prasasti yang dikeluarkan atas perintah dari raja Kadiri
terakhir, yakni Srengga (Kretajaya), berisi penetapan Desa (Thani) Palah
sebagai swatantra (sima, perdikan. Status perdikan dari desa
Palah berlanjut hingga masa Majapahit) bagi tempat pemujaan kepada Sira
Paduka Bhattara Palah.
Sebutan “Palah” kembali dijumpai dalam
kakawin Nagarakretagama (LXI/2), yang memberitakan bahwa pada tahun Saka
1283 (1361 Masehi) bulan Wesaka (April - Mei) Baginda Raja [Hayam
Wuruk] memuja ke Palah dengan para pengiringnya, berlarut-larut setiap
yang indah dikunjunginya untuk menghibur hati, di Lawang Wentar,
Manguri, Balitar dan Jimbe. Dari Balitar perjalanan diteruskan ke
selatan hingga tiba di Lodaya, kemudian menjelajah laut menyisir
pantai. Bagian lain dari kakawin ini (pupuh XVII/5) menyatakan bahwa
setiap tahun setelah musim dingin, Baginda keliling bercengkerama di
Desa Sima (selatan Jalagiri, sebelah timur istana), ke Wewe Pikatan di
Candi Lima. Bila tidak demikian pergi ke Palah untuk memuja Hyang
Acalapati, bisa juga terus ke Balitar dan Jimur mengunjungi bukit-bukit
permai. Perihal “Palah” sebagai desa perdikan (sima) juga dinyatakan
dalam pipuh LXXII/2), yaitu sebagai desa perdikan para penganut Siwa.
Dengan demikian, Nagarakretagama menyebut “Palah” hingga tiga kali, dan
sekali menyebut “Hyang Acalapati” sebagai dewata yang dipuja di Palah.
Kunjungan Hayam Wuruk ke Palah pada tahun
1361 dan pada setiap tahun seusai musim dingin (penghujan) memberi cukup
bukti bahwa Candi Palah (nama akrkhais dari Candi Penataran) tentulah
menduduki tempat penting dalam kerajaan Majapahit. Kendati tidak
termasuk dalam kategori dharmahaji ataupun prasada haji, namun tidak diragukan bila Penataran adalah candi nagara (candi kerajaan) Majapahit.
Prasasti Palah menyebut bahwa dewata yang
dipuja di Palah adalah “Sira Paduka Bhattara Palah”. Dewata ini dapat
kiranya disamakan dengan apa yang di dalam kakawin Nagarakretagama
disebut “Hyang Acalapati”. Perkataan “Acalapati” terbentuk dari dua
kata, yakni “acala (tak bergerak, gunung, karang)” dan “pati (penguasa,
raja)”, sehingga “Acalapati” dapat diartikan ‘Raja Gunung’. Suatu
pendapat menyatakan bahwa Acalapati adalah julukan bagi Dewa Siwa
sebagai “Dewa Gunung”. Jika benar demikian, berarti dewata utama
(istadewata) yang dipuja di Candi Palah adalah Dewa Siwa sebagai Dewa
Gunung atau Raja Gunung (Girindra, Girinata). Pendapat ini sejalan
dengan keterangan dalam Nagarakretagama, bahwa desa perdikan Palah
dihuni oleh penganut Hindu sekte Siwa. Namun pada kenyataan lain, hal
itu tak tepat benar dengan keletakan arca-arca pantheon Hindu di
Candi Induk Penataran, dimana pada rekonstruksi tubuh Candi Induk
(halaman III), berdasarkan indikator yang berupa wahana dewa, diketahui
bahwa arca Siwa tidak ditempatkan di dalam bilik utama (garbhagreha),
melainkan pada salah satu relung sisi luar sebagaimana halnya dengan
arca Brama. Wisnu dan para dewa penjaga penjuru mata angin (lokapala).
Oleh karena hingga sejauh ini tidak diketahui dewa siapakah yang
ditempatkan di garbhagreha Candi Induk Penataran, maka merujuk kepada
keterangan Nagarakretagama di atas, sangat boleh jadi yang ditempatkan
di dalam garbhagraha dan pada posisi sebagai istadewata adalah arca
Hyang Acalapati dalam bentuk tertentu. Ada kemungkinan Acalapati adalah
Dewa Penguasa Gunung Kelud, yang dapat diidentikkan dengan Siwa sebagai
Dewa Perusak ataupun Dewa Gunung.
Kelud (Kampud) adalah gunung berapi yang
menjadi arah pengkiblatan (orientasi) Candi Palah. Sebagai gunung berapi
aktif hingga sekarang. Eksplosinya membawa petaka, utamanya di daerah
Blitar, Kediri dan sebagian Malang, yang dahulu menjadi wilayah penting
dari Kerajaan Majapahit. Gambaran tentang petaka yang ditimbulkan oleh
Gunung Kampud dijumpai di dalam Nagarakretagama “Gemuruh suara Gunung
Kampud bergetar, banyak orang-orang hina dan jahat mati tak berdaya.
Ada kemungkinan Candi Panataran adalah
tempat pemujaan khusus untuk “meredam murka” Gunung Kelud, semacam media
protektorik untuk memperoleh keselamatan bagi wilayah ataupun warga
Majapahit. Fungsinya yang demikian itu diperkuat dengan dipilihnya
cerita Ramayana dan Kresnayana, dimana keduanya menampilkan awatara
Wisnu, yakni Rama dan Kresna sebagai pelakon cerita yang penting. Adapun
dasar pertimbangannya adalah Dewa Wisnu adalah Dewa Pelindung atau
Dewa Penyelamat. Selain tampil pada relief candi, awatara Wisnu
kedapatan pula dalam bentuk arca, yaitu arca Parasu Rama, di muka Candi
Angka Tahun bersama dengan sakti (istri)nya, yaitu Sri sebagai Dewi
Padi. Fungsi protektorik juga diemban oleh Ganesya dalam fungsi khusus,
yakni vicneswara (penolak bahaya atau penghalau rintangan). Arca
Ganesya di candi ini diposisikan istimewa. Apabila umumnya pada candi
Hindu Siwa, arca Ganesya ditempatkan di relung/bilik sisi belakang,
maka di Candi Angka Tahun (halaman II) kompleks Penataran ditempatkan
di dalam bilik utama (garbhagreha), sehingga jelas bahwa posisinya pada
candi ini adalah sebagai dewa utama (istadewata).
Candi Penataran merupakan contoh signifikan
mahakarya seni rupa masa Hindu-Buddha yang inovatif dan kreatif,
sehingga mampu menampilkan gaya khas. Sebagai karya seni, tepatnya
seni-rupa dalam arti luas, candi adalah perwujudan ekspresi seni rupa
pada suatu masa di masa lampau. Ragam ekspresi seni yang hadir di
dalamnya, antara lain meliputi ekspresi: seni bangun, seni pahat, seni
sastra visual dalam bertuk relief cerita, serta seni keagamaan.
Halaman Candi Penataran dibagi menjadi
tiga, dengan tataran kesucian makin ke belakang semakin suci, disamping
itu, elevasi tanah makin ke belakang semakin tinggi. Candi Induk yang
merupakan candi utama (main temple) berada di halaman belakang yang paling suci. Apabila dibandingkan dengan lay out percandian bergaya seni Jawa Tengahan yang berpola konsentris, lay out Candi
Penataran yang bergaya Jawa Timuran mengarah kepada pola
diskonsentris. Pola pembagian halaman menjadi tiga bagian secara
gradatif ini bersinambung ke dalam seni bangun sakral di Bali, yang
juga berkatagori tiga: jaba, jaba-tengah dan jeroan.
Dalam keberadaannya sekarang, batas tiap
bagian halaman Candi Pentaran masih dijumpai indikatornya, berupa sisa
pagar pembatas dari tatanan bata. Pada sisi depan tiap reruntuhan gapura
masing-masing pembatas halaman dijumpai sepasang arca Dwarapala, yang secara simbolik berfungsi sebagai sang penjaga, tepatnya adalah penjaga pintu (dwara = jalan, pintu, pala
= penjaga) dari gangguan-gangguan yang bersifat gaib. Sayang sekali
kini pagar pembatas di sisi kanan dan kiri halaman candi belum berhasil
ditampakkan, lataran tertutup oleh tanah bentukan baru berupa material
vulkanik Gunung Kelud. Selain itu, di sisi utara areal situs berdiri
sejumah rumah permanen warga sekitar, yang menjadi kendala serius untuk
perluasan halaman candi. Yang jelas, aslinya halaman kompleks Candi
Penataran lebih luas daripada luas areal halaman candi sekarang. Selain
itu, dalam kondisi sekarang beda elevasi tanah antara halaman II dan
III tidak terlampau tampak. Seharusnya, halaman II lebih rendah lagi
daripada permukaan tanah sekarang.
Bagi kepentingan studi sejarah arsitektur
di Jawa dan Bali Masa Hindu-Buddha, kompleks Candi Penataran adalah
contoh yang cukup lengkap. Sayang sakali bentuk utuh dari candi ini
belum dapat direkonstruksikan, lantaran ada sejumlah komponen bangunan
yang belum diketemukan atau telah musnah ditelan waktu karena terbuat
dari bahan yang tidak tahan usia.
Ekspresi seni-pahat di kompleks Candi
Penataran tampil dalam tiga katagori bentuk, yaitu berbentuk seni arca
(ikonografi), relief candi dan ragam hias candi. Masing-masing katagori
terjalin dengan aspek teknis pemahatan, aspek artistik, maupun
kaidah-kaidah khusus yang harus dipedomani. Karya seni pahat yang
dihasilkan harus dapat memuhi ketentuan sebagaimana yang telah
digariskan dalam kitab-kitab pedoman pemahatan arca dan relief, sebab
arca dan relief itu bukan merupakan benda profan, melainkan benda sakral
yang menjadi tidak syah untuk digunakan sebagai perangkat upacara
pemujaan kepada dewata bila tidak sesuai dengan kaidah yang telah
ditetapkan. Dengan demikian, seniman pahat masa lalu harus dapat menjaga
keberimbangan dari dua hal, yaitu karya seni yang artistik sekaligus
tidak menyimpang dari kaidah religis bagi proses dan bentuk pahatannya.
Candi Penataran yang memiliki banyak
pahatan yang berupa relief cerita pada sejunlah komponen bangunan dan
arca-arcanya, dengan demikian dapat dikatakan sebagai ajang ekspresi
bagi susastra visual. Di antaranya adalah cerita Kresnayana yang
dipahatkan di Teras II Candi Induk Penataran. Cerita ini adalah gubahan
dari Mahabarata, yang pokok isinya mengingatkan kepada lokon wayang,
yang berjudul “Noroyono Maling”. Dengan demikian, kedua relief cerita
itu menginduk pada wiracarita asal India, yakni Ramayana dan Mahabarata.
Yang lebih menarik lagi untuk dicermati dalam kaitan dengan fungsi
khusus Candi Penataran sebagai media religius-magis untuk “redam murka”
Gunung Kampud (nama arkhais dari Gunung Kelud) adalah kedua relief
cerita yang dipahatkan di Candi Induk Penataran pada halaman III yang
paling suci ini menampilkan awatara Dewa Wisnu, yaitu tokoh Kresna di
dalam cerita Kresnayana dan Rama dalam cerita Ramayana. Selain itu,
masih terdapat sebuah cerita asal India, yakni cerita bintarang (fable)
atau lazim disebut “Cerita Tantri”, yang berinduk pada himpunan cerita
Pancatantra (Tantrikamanaka). Relief ini kedapatan pada Patirthan
Dalam, di belakang bawah arca-arca Dwarapala di muka Candi Induk, dan
pada bidang membulat (medalion) penutup lobang-lobang ventilasi
Candi Naga. Satu lagi relief yang bisa jadi indikator cerita asal
India, yaitu pahatan para pendeta tengah membawa genta upacara (ghanta)
pada tubuh Candi Naga di halaman ke-2 serta pahatan naga pada pelipit
bawah Pendapa Teras I dan II. Pahatan ini berhubungan dengan tema
cerita Samodramantana, yang berinduk pada Adaiparwa dalam wiracarita
Mahabhaata. Pokok isinya berkenaan dengan air suci (tirtha). Di dalam
ritus Hindu ataupun Buddhis, tirtha merupakan kelengkapan yang utama
Adapun relief cerita yang berasal dari
Jawa, dan dengan demikian dapat disebut sebagai “cerita orisinal Jawa”,
adalah cerita-cerita yang dipahatkan pada Pendapa Teras II Penataran di
halaman I – yang kurang sakral apabila dibanding halaman II dan III,
antara lain adalah rumpun cerita Panji, Sri Tanjung, Sang Satyawan,
Bubhuksah-Gagang Aking, dsb. Bila cerita Ramayana dan Kresnayana ditokoh
oleh manusia dan awatara dewa, sementara cerita Tantri ditokohi oleh
binatang yang berperilaku seperti manusia, maka cerita-cerita lokal Jawa
di Pendapa Teras II ditokohi oleh manusia biasa. Jika menilik tempat
pemahatannya, cerita asal India, khususnya yang menampilkan tokoh
dewata, diposisikan di candi utama (induk) yang berada di halaman
tersuci (halaman III).
Candi Penataran dapat dimasukkan ke dalam
candi bergaya Majapahit. Salah satu cirinya adalah mempunyai pola
arsitektur berundak, sebagaimana tampak pada tubuh dan kaki Candi Induk
yang berteras tiga, makin ke atas semakin menjorok ke belakang, pada
mana tubuh dan atap candi ditempatkan (di atas teras III). Kendati
bagian atapnya belum diketemukan, lantaran telah musnah karena terbuat
dari bahan yang tak tahan usia, namun diperkirakan memiliki bentuk
tumpang (meru). Bangunan serupa ini didapati contohnya pada relief
cerita Ramayana sisi utara. Bentuk atap meru banyak didapati pada
bangunan suci (pura) di Bali. Demikian juga, pola pembagian halaman atas
tiga bagian maupun tata letaknya yang diskonsentris menjadi pola umum
dari bangunan pura. Oleh karena itu, cukup alasan untuk menyatakan
bahwa Candi Penataran merupakan pola arsitektur sakral yang berpengaruh
luas dan dilestarikan di Bali hingga kini dalam bentuk pura. Bahkan,
fungsi khusus dari Candi Penataran sebagai media protektorik terhadap
gunung berapi aktif bisa dibandingkan dengan fungsi Pura Besakih
terhadap Gunung Agung.
Ciri Majapahitan juga tampak jelas dalam
relief dan arca di Candi Penataran. Pada relief cerita Ramayana tampak
jelas adanya gaya wayang (lakon), gaya relief yang cukup banyak tampil
di percandian masa Majapahit. Relief natarif pada masa Majapahit
memiliki dua langgam, yaitu langgam kakawin, dan langgam wayang. Latar
pembedanya adalah sumber cerita. Susastra berbentuk kakawin, wawacan dan
tutur dijadikan acuan dalam seni pahat bergaya kakawin, sedangkan
sastra lakon Mahabarata ataupun Ramayana menjadi acuan untuk seni pahat
bergaya wayang.
Ciri Majapahitan juga tampak pada susastra
visual yang dipahatkan dalam bentuk relief candi di Candi Penataran.
Susastra berbentuk Kidung yang marak berkembang pada masa Majapahit
kedapatan tampil di Pendapa Teras II, yang menampilkan cerita orisinal
Jawa, seperti cerita-cerita Panji, Sri Tanjung, Sang Satyawan,
Bubhuksah-Gagang Aking, dsb Dengan perkataan lain, pada Candi Penataran
terjadi transformasi dari susastra lisan (tutur) ataupun susastra tulis
ke dalam susastra visual dalam bentuk relief candi. Fenomena
transformatif semacam itu tersirat pula dalam relief cerita Ramayana dan
Kresnayana di Candi Induk, yang menyiratkan adanya transformasi dari
susastra tulis ke dalam lakon seni pertunjukan (wayang kulit).
Salah satu perbedaan prinsip
antara percandian bergaya Jawa Tengahan dan Jawa Timuran adalah pada
gaya Jawa Tengahan anasir budaya asal India mempunyai pengaruh sangat
kuat ke dalam karya budaya di Masa Hindu-Buddha. Anasir budaya asing
itu diadopsi ataupun diadaptasi ke dalam berbagai jenis dan bentuk
ekspresi budaya. Adapun pada gaya Jawa Timuran, pengaruh India tidak
lagi bepengaruh secara dominan dalam karya budaya. Sebaliknya, anasir
budaya lokal Jawa tampak menyeruak, adanya susastra kidung dengan kisah
yang berlatar sejarah serta lingkungan alam dan budaya Jawa,
menguatnya kultus terhadap arwah nenek moyang yang diperdewa – misalnya
kultus kepada Dewa Gunung (Hyang Acalapati), munculnya
arsitektur berundak, dsb. Ciri-ciri demikian tampil jelas di Candi
Penataran. Oleh karenanya cukup alasan untuk menyatakan bahwa candi ini
adalah adalah contoh signifikan dari Javanisasi proses dalam kesenian
Hindu-Buddha. Aktifitas, kreatifitas maupun upaya inovatif dari seniman
pembangun Candi Penataran diperlihatkan dengan amat jelas. Kesemuanya
bisa dijadikan sebagai contoh teladan tentang bagaimana penyikapan
pelaku budaya terhadap pengaruh budaya asing, dan komitmennya terhadap
anasir budaya asli pada sisi lain.
* Di olah dari tulisan Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar