Pendopo Tempoe Doeloe |
Pada masa keemasan Syiwa Buddha, Purworejo dikenal sebagai Bagelen.
Menurut
sejarah, Kadipaten Bagelen diserahkan kepada Hindia-Belanda oleh pihak
Kesultanan Yogyakarta setelah Perang Diponegoro berakhir. Untuk memutus
jati diri Bagelen sebagai daerah yang kuat, wilayah ini dalam
kekuasaan Belanda diciutkan menjadi hanya kabupaten dalam Karesidenan
Kedu.
Belanda membangun pemukiman
baru di daerah ini dan menamainya Purworejo. Saking waspada akan
perlawanan di tempat ini, Belanda menempatkan barak-barak tentara di
sini, sekaligus membangun jalan raya membelah daerah ini agar lebih
mudah diawasi. Begitulah asal mula Purworejo.
Nah, sejak tiba di kabupaten
Purworejo, saya diliputi perasaan damai dan tenang. Semula saya heran,
di tempat yang sangat cocok untuk peristirahatan ini, kok tak ada pusat
meditasi, bahkan katanya tak ada wihara, padahal saya rasa vibrasi
tempat latihan yang tenang sangat mendukung di sini.
Setelah
saya browsing tentang Purworejo di internet, fill damai ini tak salah.
Dari hasil browsing saya tahu, Purworejo atau Bagelen merupakan pusat
pengembangan agama Syiwa Buddha (Tantra) di Jawa Tengah sejak kerajaan
Galuh-Tarumanegara.
Pada jaman
itu, Bagelen atau Purworejo adalah tempat biksu tinggal dan bertapa.
Jadi tak heran, vibrasi damai ini masih terasa hingga kini. Bahkan urat
nadi kabupaten ini adalah sungai yang bernama Bagawanta, yang berasal
dari kata Begawan, karena konon di sepanjang tepi sungai inilah para
biksu bermukim!
Malangnya,
keluarga teman dekat saya yang non Buddhis yang terpesona indahnya
Dharma Guru Buddha yang saya sampaikan, hanya bisa berkata, sayang di
sini tak ada wihara. Padahal gereja dan pastoran bertebaran.
Ada yang mau merintis?
Dalam pemikiran, saya mungkin punya ikatan karma dengan tempat ini pada kelahiran yang lalu.
Tercatat
sejak SMU, 3 kali saya kelayapan tak jelas sampai di daerah ini. Satu
kali bermalam di rumah penduduk dan mandi di permandian air panas alam
beramai-ramai dengan penduduk, yang kini tak bisa kulacak
keberadaannya.
Kedua, masih di
bangku SMU, saya pernah masuk sampai ke tempat paling sakral Petilasan
Nyai Bagelen, leluhur orang Purworejo yang dikramatkan penduduk di
sini, yang mayoritas muslim kejawen. Berada di dalam petilasan yang
dikramatkan itu, yang dikelilingi kuburan muslim, saya agak kaget
karena isi dari ruang spesial itu, pusat dari petilasan tersebut yang
dijaga juru kunci ternyata sebuah Stupa! Mungkin itu stupa perabuan
Nyai Bagelen? Yang ternyata Buddhis!
Faktor
kedua adanya pemikiran ikatan karma aku dengan tempat ini, tanpa
rencana seminggu ini saya ‘dipaksa’ ada di Purworejo. Kalau bukan oleh
karma yang harus diselesaikan, bagaimana mungkin saya ada di sini?
Pendopo Kawedanan Kutoarjo |
Uniknya, konon di sini masih
hidup tradisi, setelah sunatan anak yang disunat diarak keliling dengan
kuda. Jadi ingat tradisi di Negara Buddhis yang juga mengarak anaknya
keliling setelah menjadi samanera kecil, terinspirasi kisah Pangeran
Siddharta yang meninggalkan istana? Mungkin ini alkuturasi agama
pendatang dengan kebudayaan Buddhis setempat yang kuat pada era lalu.
Mau
ke sana? Kalau naik bis ac Sinar Jaya dari Pulo Gadung Rp.65.000,-
Jakarta – Purworejo. 10 Jam perjalanan. Bisnya sehari 2 kali jalan.
Pagi jam 6, kalau sore jam 4. Letak Purworejo sekitar 2 jam dari
Yogyakarta, 15 menit dari Candi Borobudur.
Berikut kutipan dari sebuah blog tentang sejarah Purworejo/Bagelen:
Syiwa-Buddha
Menurut
Oteng, dakwah Sunan Geseng di Bagelen dengan mengakomodasi kepercayaan
Syiwa-Buddha bukan tanpa alasan. Sejak zaman kerajaan
Galuh-Tarumanegara, Bagelen dikenal sebagai pusat perkembangan agama
Syiwa-Buddha di Jawa Tengah.
Bahkan,
pendiri Bagelen adalah putri Raja Syailendra atau yang disebut warga
setempat sebagai Raja Suwela Cala. Di Bagelen juga banyak ditemukan
yoni dan lingga peninggalan Wangsa Sanjaya dan Rakai Panangkaran yang
beragama Hindu-Syiwa.
Bagelen
yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo dikenal sebagai tempat
pelarian pangeran dan kesatria Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran
Jayakusuma. Demikian pula dengan Raden Caranggasing dari Jenggala.
Di Bagelen bagian selatan banyak pendeta Bhairawa Tantra, yang sakti. Maka, banyak prajurit tangguh dari wilayah ini.
Urat
nadi wilayah Bagelen, yaitu Sungai Bagawanta, konon merupakan tempat
begawan dan biksu tinggal dan bertapa. Karena itu, sungai itu dinamakan
Bagawanta (dari kata begawan). Sebelumnya, berdasarkan prasasti
peninggalan Wangsa Sanjaya, sungai ini bernama Ciwatukora.
Dengan
latar belakang semacam itu, tak ada pilihan lain bagi Sunan Kalijaga
maupun Sunan Geseng untuk tidak mengakomodasi nilai Syiwa-Buddha.
Apalagi dalam beberapa hal ajaran Islam dan Syiwa- Buddha juga memiliki
kesamaan.
Memang, karakter khas
warga Bagelen kini tak sekental dimasa lalu. Bahkan, secara geografis
pun wilayah Bagelen mengerdil. Bila dulu pada masa sebelum tahun 1830
wilayahnya meliputi Berangkal (kini Purworejo), Semawung (Kutoarjo),
Ngaran (Kebumen), dan Karangduwur (Wonosobo bagian selatan), tetapi
setelah tahun 1830 Bagelen tinggal wilayah seluas empat kecamatan
disebelah timur Purworejo.
Pengerdilan
wilayah Bagelen ini tak terlepas dari upaya Belanda menghentikan
perlawanan sisa pengikut Pangeran Diponegoro di wilayah ini.
Pendopo Kabupaten Purworejo 1931 |
Masih tampak
Namun
demikian, tradisi Islam-Jawa dalam banyak hal masih tampak. Legimin
(66), sesepuh Desa Bagelen, Sabtu (28/1), mengatakan, setiap Jumat
Kliwon, Selasa Kliwon, dan Kamis Wage, warga Bagelen mengadakan ritual
sesaji kepada leluhur. Biasanya mereka mengunjungi petilasan Nyai Ageng
Bagelen di Desa Bagelen, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo.
“Mereka
yang ke petilasan itu tidak hanya yang Kejawen, tetapi juga yang
beragama Islam, bahkan Nasrani. Mereka menghormati Nyai Ageng Bagelen
sebagai leluhur. Dan, meminta kepada Allah supaya Bagelen selamat dan
sejahtera,” tuturnya.
Pada bulan
Sura ini, warga Bagelen, baik yang beragama Islam atau penganut
Kejawen, melakukan jamasan pusaka. Mereka juga mengunjungi petilasan
pepunden, seperti petilasan Nyai Ageng Bagelen, Banyu Urip, petilasan
Sunan Geseng dan pepunden yang lain.
Memang, tradisi Islam-Kejawen di Bagelen kini kian tergerus modernitas yang memasuki relung kehidupan di wilayah ini.
Sumber: http: //harpin.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar